RIBA
DALAM PRESPEKTIF KEUANGAN ISLAM
A.
Definisi dan Jenis-Jenis Riba
a. Definisi Riba
Secara etimologis, kata "ar-riba" bermakna zada wa nama', yang berarti bertambah dan
tumbuh (Abadi, 1998: 332). Di dalam al-Qur'an, kata "ar-riba" beserta
berbagai bentuk derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan
diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri. Kata ini digunakan dalam al-Qur'an
dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah,menyuburkan, mengembang, dan
menjadi besar dan banyak. Meskipun berbeda-beda,
namun secara umum ia berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif (Saeed, 1996: 20).
Sedangkan secara terminologis, riba secara umum
didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu
pihakterhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang yang
sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut (Al-Jaziri,
1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang
yang harus dilunasi oleh orang yang
berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap
tenggang waktu yang telah lewat waktu (Muslim, 2005: 128). Dengan mengabaikan
perbedaan pendapat yang ada, umumnya para fuqaha' menyepakati akan adanya dua
macam riba, yaitu riba fadl (sebagaimana
definisi pertama) dan riba nasi'ah (sebagaimana definisi kedua).
Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat pembagian riba yang agak berbeda dengan ulama
lainnya. Menurut keduanya, riba dibedakan atas riba yang terjadi pada
hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan riba yang terjadi pada
jual beli, yaitu riba nasa'dan riba fadl. Al-Mishri menekankan pentingnya
pembedaan antara riba nasi'ahdengan riba nasa'agar terhindar dari kekeliruan
dalam mengidentifikasi berbagai bentuk riba.
Tabel 1. Tipologi Riba Menurut Abu Zahrah dan
Yunusal-Mishri
Riba
|
Transaksi
|
Jenis
|
Unsur-unsur
|
Keterangan
|
Pinjam-meminjam
|
Riba Nasi’ah
|
Penundaan dan tambahan
|
Sepakat tentang haramnya jika dzulm dan eksploitatif
|
|
Jua-lbeli
|
Riba Nasa’
|
Penundaan
|
Masih Ikhtilaf
|
|
Riba Fadl
|
Tambahan
|
Sumber: Muslim, 2005:
132
Riba nasi'ah dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan
masyarakat Arab Jahiliyyah dengan ciri utama berlipat ganda dan eksploitatif
telah disepakati keharamannya oleh para ulama. Sementara yang kini menjadi
perdebatan adalah riba nasi'ahyang tidak berlipat ganda dan dalam taraf
tertentudipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak diperbincangkan
mengenai bunga bank (interest). Sementara pada
riba fadlmasih diperdebatkan hukumnya di antara ulama dan cendekiawan
Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang tidak setuju dengan
pengharamannya dengan berbagai alasan.
Pakar Tafsir yang membolehkan riba fadl adalah at-Thabari
(w.310 H). Sedangkan tokoh sahabat dan tabi'in yang membolehkan riba fadl
adalah Ibn Abbas (w.68 H0, Ibn Umar (w.73 H), Zaid bin Arqam (w. 66 H), Usamah
bin Zaid (w. 54 H), Urwah bin Zubair (w. 94 H), Ikrimah(w. 105 H), ad-Dhahhak
(w.105 H), dan Sa'id Ibn Musayyab (w. 94 H0. Alasan para ulama ini adalah
hadits "Bahwasanya riba itu hanya pada riba nasi'ah". Menurut para
ulama ini (Ridho, 1374 H; 113-114), riba fadl itu adalah kelebihan harga
transaksi barang sejenis bukan karena penundaan atau penyegeraan pembayaran.
Riba yang haram menurut mereka adalah riba yang mengandung tambahankarena ada
penundaan waktu (nasi'ah).
Namun demikian, ulama
mutaqaddimin pada umumnya sepakat tentang keharamannya. Bahkan mereka
sepakat tentang haramnya riba pada enam barang yang disebutkan dalam hadits
Ubadah bin Shamit (at-Tirmidzi, 1964: 354) sebagai berikut:
عن عبادة بن
الصامث قال قال
رسول الل صلي الل علي وسلم الذب
بالذب
والفضة بالفضة والبر
بالبر والشعير بالشعير
والتمر
بالتمر
والملح بالملح مثلا
بمثل سواء بسواء
يدا بيد فاذا
اختلفت
ذ الاصناف فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد
Para ulama tidak sepakat tentang apakah selain
yang enam itu ada yang termasuk barang ribawi atau tidak. Golongan Dhahiriyah
berpendapat bahwa riba itu hanya terjadi pada enam barang tersebut, sementara
empat imam madzhab fiqh berpendapat bahwa barang ribawi tidak hanya enam barang
yang disebutkan dalam hadits tersebut, tetapi termasuk juga barang lain yang
sejenis atau memiliki 'illat yang sama (Muslim, 2005: 135). Untuk memudahkan
pemetaan pendapat antara kedua kelompok yang berbeda pendapat di atas, dapat
dilihat dalam bagan berikut.
Tabel 2. Illat Hukum Riba
Jenis Riba
|
Illat Hukumnya
|
Cara Transaksi dan Jenis
Barangnya
|
Riba nasi'ah
|
Modernis: Dzulm(kedzaliman)
|
Pinjam uang
|
Neo-Revivalisme: Ziyadah(tambahan)
|
Pinjam uang
|
|
Riba Fadl
|
Abu Hanifah: setimbang (ittihad al-wazn)Imam Malik,
Syafi'i dan Ahmad: sejenis dalam harga
|
Tukar (beli) emas dan perak
|
Abu Hanifah: seukuran (ittihad al-kail)
Imam Malik: sejenis (ittihad al-jins)dan
termasuk makanan
Ahmad: makanan dengan syarat bisa
ditimbang dan diukur
|
Tukar (beli) gandum, kurma, garam
|
Sumber:
Muslim, 2005: 135.
Perbedaan-perbedaan di atas umumnya
disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap riba. Kendati riba dalam
al-Qur'an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak diberi
batasan yang jelas, sehingga hal ini
menimbulkan beragamnya interpretasi terhadap riba. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga
terhadap pemahaman para ulama sesudah generasi sahabat. Bahkan, sampai saat ini
persoalan ini (interpretasiriba) masih menjadi perdebatan yang tiada henti.
b.
Definisi Bunga (Interest)
Secara etimologis, bunga dalam The American Heritage Dictionary of the
English Languaged idefinisikan sebagai
interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the
amount loaned (Wirdyaningsih, et.al,
2005: 21).
Definisi senada dapat ditemukan
dalam Oxford English Dictionary diartikan
sebagai money paid for use of money lent
(the principal) orfor forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rate
per cent).Sedangkan dalam the Legal
Encyclopedia for Home and Businessdidefinisikan sebagai compensation for use of money which is due (Tim
Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 36).
Sementara riba sering diterjemahkan
dalam bahasa Inggris sebagai "usury" yang artinya the act of lending money at exorbitant or
illegal rate of interest (Wirdyaningsih,
2005: 25). Definisi lain dalam Oxford
English Dictionary diartikan sebagai the
fact or practice of lending money at interest;
especially in later use, the practice of charging, taking or contracting
to receive, excessive or illegal rate of interest for money for loan.Dalam the Legal Encyclopedia for Home and Business didefinisikan
sebagai an excess over the legal rate
charged the borrower for the use of money (Tim Pengembangan Bank Syari’ah,
2001: 37).
Dalam sejarah ekonomi Eropa
dibedakan antara “usury” dan “interest”. Usury
didefinisikan sebagai kegiatan meminjamkan uang “where more is asked
than is given”. Kata “usury” berasal dari bahasa Latin “usura” yang berarti
“use” berarti menggunakan sesuatu. Dengan demikian, usuryadalah harga yang harus dibayar untuk
menggunakan uang.
Sedangkan kata “interest” berasal
dari bahasa Latin “intereo” yang berarti untuk kehilangan “to be lost”.
Sebagian lain mengatakan bahwa
interestberasal dari bahasa Latin “interesee” yang berarti datang di
tengah (to come in between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah
transaksi jika peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu (compensation or
penalty for delayed repayment of a loan). Pada perkembangan selanjutnya,
“interest” bukan saja diartikan sebagai
ganti rugi akibat keterlambatan pembayaran hutang, tetapi diartikan juga sebagai ganti rugi atas
kesempatan yang hilang (opportunity loss)(Rivai’, dkk, 2007: 762; Karim, 2007:
42).
Dari definisi ini, terlihat jelas
bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam
prosentase. Istilah"usury" muncul karena belum mapannya pasar
keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga
yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar
keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga
di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
B. Landasan Normatif
Orang Islam
yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah
dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam
sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali
lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh oleh
seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan
zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin
Malik).”
Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan
yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan
peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB
ÇËÐÑÈ
“ Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. .”(QS. Al-Baqarah :
278)
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs?
(#qçRsù'sù 5>öysÎ/
z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur
óOçFö6è? öNà6n=sù
â¨râäâ
öNà6Ï9ºuqøBr&
w cqßJÎ=ôàs?
wur
cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
“Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”(QS. Al-Baqarah : 279)
Jika pada
awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum
Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari
ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari
Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik
kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai
Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut,
Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba
(bunga) bank:
úïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w
tbqãBqà)t
wÎ)
$yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur
ª!$#
yìøt7ø9$#
tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù
¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§
4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î)
«!$#
(
ïÆtBur y$tã
y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$#
(
öNèd
$pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang
yang Makan (mengambil) riba[1]
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”(QS Al Baqarah : 275).
ß,ysôJt ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur w
=Åsã ¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ
“ Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.[2] .”(QS. Al-Baqarah :
276)
Dalam hal ini,
Ibnu Abbas berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya,
maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk
menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel,
maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
Juga Al Hasan
bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer)
adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman
akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala
Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut
bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka
mereka tersebut wajib diperangi”.
Sabda Nabi SAW. :
Sabda Nabi SAW. :
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَتِبَهُ وَشَهِدَيْهِ. رواه مسلم
“Dari Jabir, “ Rasulullah Saw.
Telah melaknat ( mengutuk ) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan
dua saksinya.” (Riwayat Muslim)
Disebutkan
pula pada QS. An-Nisa’ :160-161 Allah berfirman,
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB
úïÏ%©!$# (#rß$yd
$oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé&
öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx.
ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$#
È@ÏÜ»t7ø9$$Î/
4
$tRôtGôãr&ur
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB
$¹/#xtã $VJÏ9r&
ÇÊÏÊÈ
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah..”( QS. An-Nisa’ :160)
“Dan
disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih. “QS. An-Nisa’ :161)
QS. Ar-Ruum :39
!$tBur
OçF÷s?#uä
`ÏiB
$\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$#
xsù
(#qç/öt yYÏã
«!$#
(
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y
crßÌè?
tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“Dan
sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum :39)
QS. Ali Imran : 130
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w
(#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB
(
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÌÉÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[3]
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”( QS. Ali Imran : 130)
C. Riba: Tinjauan
Historis
Konsep riba sebenarnya telah lama
dikenal dan telah mengalami perkembangan dalam pemaknaan. Kajian mengenai
riba,ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai
kalangan di luar Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga
lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan
non-Muslim, seperti Hindu, Budha (Rivai, dkk, 2007: 761), Yahudi, Yunani,
Romawi dan Kristen (Antonio, 2001: 42).
Konsep riba di kalangan Yahudi, yang
dikenal dengan istilah “neshekh” dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina.
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old
Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat
dalam Old Testament yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang
miskin dan mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan riba (Antonio, 2001: 43). Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25
menyatakansebagai berikut:
“Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang
dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engakau
berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bungauang
terhadapnya”.
2) Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19
menyebutkan sebagai berikut:
“Janganlah
engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun
yang dapat dibungakan”.
3) Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37
menyatakan sebagai berikut:
“Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi
uangmu kepadanyadengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan
dengan meminta riba”.
Sedangkan pada masa Yunani dan
Romawi Kuno, praktekriba merupakan tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988: 124).
Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga 1 M, terdapat beberapa jenis bunga
yang bervariasi besarnya (Antonio, 2001: 43). Sementara itu, pada masa Romawi,
sekitarabad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang membolehkan
penduduknyamengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat
maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini
berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak
dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada
masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu sebagai
berikut:
1)
Bunga maksimal yang dibenarkan: 8%-12%
b)
Bunga pinjaman biasa di Roma: 4%-12%
c)
Bunga di wilayah taklukan Roma: 6%-100%
d)
Bunga khusus Byzantium: 4%-12%
Meskipun demikian, praktik
pengambilan bunga tersebut dicela oleh para ahli filsafat Yunani, diantaranya
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), begitu pula para ahli filsafat
Romawi, sepertiCato (234-149 SM), Cicero (106-43 SM) dan Seneca (4 SM-65 M)
mengutuk praktikbunga, yang digambarkannya sebagai tindakan tidak manusiawi
(Islahi, 1988: 124).
Konsep riba di kalangan Kristen
mengalami perbedaanpandangan, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
periode sebagai berikut:
Pertama, pandangan para
pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang
mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab Perjanjian Lama dan undang-undang
dari gereja. Pada abad IV M, gereja Katolik
Roma melarang praktik riba bagi para pendeta, yang kemudian diperluas
bagi kalangan awam pada abad V M. Pada abad VIII M, di bawah kekuasaan Charlemagne,
gereja Katolik Roma mendeklarasikan praktik riba sebagai tindakan kriminal
(Iqbal dan Mirakhor, 2007: 71).
Kedua, pandangan para sarjana
Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung membolehkan bunga, dengan melakukan
terobosan baru melalui upaya
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi
interestdan usury. Menurut
mereka, interestadalah bunga yang diperbolehkan sedangkan usuryadalah bunga yang berlebihan. Para
sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pemikiran bunga ini adalah Robert of
Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte
(1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274)
(Antonio, 2001: 47).
Ketiga, pandangan para
reformis Kristen (abad XVI-1836) seperti Martin Luther (1483-1536), Zwingli
(1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John Calvin (1509-1564) yang menyebabkan
agama Kristen menghalalkan bunga (interest). Pada periode ini, Raja Henry VIII
memutuskan berpisah dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 bunga
(interest) resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10%. Kebijakan
ini kembali diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1571 (Karim, 2001: 72;
Rivai, dkk, 2007: 763).
Dengan latar belakang sejarah
tersebut di atas, maka seluruh praktik operasionalisasi perbankan modern yang
mulai tumbuhdan berkembang sejak abad XVI M ini menggunakan sistem bunga.
Sistem bunga ini mulai tumbuh, mengakar, dan mendarah-daging dalam industri
perbankan modern sehingga sulit untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan
bahwa bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Jika tanpa bunga, maka
sistem perbankan menjadi tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh
(Mannan, 1997: 165).
Sementara itu, riba telah jelas dan
tegas dilarang dalam Islam. Pelarangan
riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap,
sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti pelarangan minuman
keras. Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Tahap pertama, disebutkan
bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh
akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39).
Tahap kedua, pada awal
periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan
pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil
kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan
siksa Allah yangpedih (QS. An-Nisa’: 160-161).
Tahap ketiga, pelarangan riba
dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130).
Ayat ini turun setelah perang Uhud yaitu
tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda harus
dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga
pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda
saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang
berlaku umumpada waktu itu adalah berlipat ganda.
Tahap keempat merupakan tahap
terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan riba, menegaskan
perbedaan yang jelas antara jual beli
dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang
yang mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279).
[1] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah
ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl
ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman jahiliyah
[2] Yang
dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan
harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya
[3] Yang
dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa
Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada
dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar