Jumat, 20 Desember 2013

RIBA DALAM PRESPEKTIF KEUANGAN ISLAM

RIBA DALAM PRESPEKTIF KEUANGAN ISLAM
A. Definisi dan Jenis-Jenis Riba
            a. Definisi Riba
            Secara etimologis, kata "ar-riba" bermakna  zada wa nama', yang berarti bertambah dan tumbuh (Abadi, 1998: 332). Di dalam al-Qur'an, kata "ar-riba" beserta berbagai bentuk derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri. Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah,menyuburkan, mengembang, dan menjadi besar dan banyak. Meskipun  berbeda-beda, namun secara umum ia berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Saeed, 1996: 20).
            Sedangkan secara terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu pihakterhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut (Al-Jaziri, 1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang yang  harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu (Muslim, 2005: 128). Dengan mengabaikan perbedaan pendapat yang ada, umumnya para fuqaha' menyepakati akan adanya dua macam riba, yaitu  riba fadl (sebagaimana definisi pertama) dan riba nasi'ah (sebagaimana definisi kedua).
            Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat  pembagian riba yang agak berbeda dengan ulama lainnya. Menurut keduanya, riba dibedakan atas riba yang terjadi pada hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan riba yang terjadi pada jual beli, yaitu  riba nasa'dan  riba fadl. Al-Mishri menekankan pentingnya pembedaan antara  riba nasi'ahdengan  riba nasa'agar terhindar dari kekeliruan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk riba.
            Tabel 1. Tipologi Riba Menurut Abu Zahrah dan Yunusal-Mishri
Riba
Transaksi
Jenis
Unsur-unsur
Keterangan
Pinjam-meminjam
Riba Nasi’ah
Penundaan dan tambahan
Sepakat tentang haramnya jika dzulm dan eksploitatif
Jua-lbeli
Riba Nasa’
Penundaan
Masih Ikhtilaf
Riba Fadl
Tambahan
Sumber: Muslim, 2005: 132
            Riba nasi'ah dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab Jahiliyyah dengan ciri utama berlipat ganda dan eksploitatif telah disepakati keharamannya oleh para ulama. Sementara yang kini menjadi perdebatan adalah riba nasi'ahyang tidak berlipat ganda dan dalam taraf tertentudipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak diperbincangkan mengenai bunga bank (interest). Sementara pada  riba fadlmasih diperdebatkan hukumnya di antara ulama dan cendekiawan Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang tidak setuju dengan pengharamannya dengan berbagai alasan.
            Pakar Tafsir yang membolehkan riba fadl adalah at-Thabari (w.310 H). Sedangkan tokoh sahabat dan tabi'in yang membolehkan riba fadl adalah Ibn Abbas (w.68 H0, Ibn Umar (w.73 H), Zaid bin Arqam (w. 66 H), Usamah bin Zaid (w. 54 H), Urwah bin Zubair (w. 94 H), Ikrimah(w. 105 H), ad-Dhahhak (w.105 H), dan Sa'id Ibn Musayyab (w. 94 H0. Alasan para ulama ini adalah hadits "Bahwasanya riba itu hanya pada riba nasi'ah". Menurut para ulama ini (Ridho, 1374 H; 113-114), riba fadl itu adalah kelebihan harga transaksi barang sejenis bukan karena penundaan atau penyegeraan pembayaran. Riba yang haram menurut mereka adalah riba yang mengandung tambahankarena ada penundaan waktu (nasi'ah).
            Namun demikian, ulama  mutaqaddimin pada umumnya sepakat tentang keharamannya. Bahkan mereka sepakat tentang haramnya riba pada enam barang yang disebutkan dalam hadits Ubadah bin Shamit (at-Tirmidzi, 1964: 354) sebagai berikut:
عن  عبادة  بن  الصامث  قال  قال  رسول  الل  صلي  الل  علي  وسلم  الذب
بالذب  والفضة  بالفضة  والبر  بالبر  والشعير  بالشعير  والتمر
بالتمر  والملح  بالملح  مثلا  بمثل  سواء  بسواء  يدا  بيد  فاذا  اختلفت
ذ الاصناف فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد
            Para ulama tidak sepakat tentang apakah selain yang enam itu ada yang termasuk barang ribawi atau tidak. Golongan Dhahiriyah berpendapat bahwa riba itu hanya terjadi pada enam barang tersebut, sementara empat imam madzhab fiqh berpendapat bahwa barang ribawi tidak hanya enam barang yang disebutkan dalam hadits tersebut, tetapi termasuk juga barang lain yang sejenis atau memiliki 'illat yang sama (Muslim, 2005: 135). Untuk memudahkan pemetaan pendapat antara kedua kelompok yang berbeda pendapat di atas, dapat dilihat dalam bagan berikut.
            Tabel 2. Illat Hukum Riba
Jenis Riba
Illat Hukumnya
Cara Transaksi dan Jenis
Barangnya
Riba nasi'ah
Modernis: Dzulm(kedzaliman)
Pinjam uang

Neo-Revivalisme: Ziyadah(tambahan)
Pinjam uang

Riba Fadl
Abu Hanifah: setimbang (ittihad al-wazn)Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad: sejenis dalam harga

Tukar (beli) emas dan perak
Abu Hanifah: seukuran (ittihad al-kail)
Imam Malik: sejenis (ittihad al-jins)dan
termasuk makanan
Ahmad: makanan dengan syarat bisa
ditimbang dan diukur

Tukar (beli) gandum, kurma, garam

Sumber: Muslim, 2005: 135.
            Perbedaan-perbedaan di atas umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap riba. Kendati riba dalam al-Qur'an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak diberi batasan  yang jelas, sehingga hal ini menimbulkan beragamnya interpretasi terhadap riba.  Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap pemahaman para ulama sesudah generasi sahabat. Bahkan, sampai saat ini persoalan ini (interpretasiriba) masih menjadi perdebatan yang tiada henti.
b. Definisi Bunga (Interest)
            Secara etimologis, bunga dalam  The American Heritage Dictionary of the English Languaged idefinisikan sebagai  interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned  (Wirdyaningsih, et.al, 2005: 21).
            Definisi senada dapat ditemukan dalam  Oxford English Dictionary diartikan sebagai  money paid for use of money lent (the principal) orfor forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rate per cent).Sedangkan dalam  the Legal Encyclopedia for Home and Businessdidefinisikan sebagai  compensation for use of money which is due (Tim Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 36).
            Sementara riba sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "usury" yang artinya  the act of lending money at exorbitant or illegal  rate of interest (Wirdyaningsih, 2005: 25). Definisi lain dalam  Oxford English Dictionary diartikan sebagai  the fact or practice of lending money at interest;  especially in later use, the practice of charging, taking or contracting to receive, excessive or illegal rate of interest for money for loan.Dalam  the Legal Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai  an excess over the legal rate charged the borrower for the use of money (Tim Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 37).
            Dalam sejarah ekonomi Eropa dibedakan antara “usury” dan “interest”. Usury  didefinisikan sebagai kegiatan meminjamkan uang “where more is asked than is given”. Kata “usury” berasal dari bahasa Latin “usura” yang berarti “use” berarti menggunakan sesuatu. Dengan demikian,  usuryadalah harga yang harus dibayar untuk menggunakan uang.
            Sedangkan kata “interest” berasal dari bahasa Latin “intereo” yang berarti untuk kehilangan “to be lost”. Sebagian lain mengatakan bahwa  interestberasal dari bahasa Latin “interesee” yang berarti datang di tengah (to come in between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi jika peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu (compensation or penalty for delayed repayment of a loan). Pada perkembangan selanjutnya, “interest” bukan  saja diartikan sebagai ganti rugi akibat keterlambatan pembayaran hutang,  tetapi diartikan juga sebagai ganti rugi atas kesempatan yang hilang (opportunity loss)(Rivai’, dkk, 2007: 762; Karim, 2007: 42).
            Dari definisi ini, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah"usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
B. Landasan Normatif
            Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
            “Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).”
 Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  
                Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. .”(QS. Al-Baqarah : 278)
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
                Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(QS. Al-Baqarah : 279)
            Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rang­kaian ayat-ayat terse­but, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, ter­masuklah di antaranya riba (bunga) bank:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ     
                “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[1] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS Al Baqarah : 275).
ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãƒur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ  
                Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.[2] .”(QS. Al-Baqarah : 276)
Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:
            “Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:
            “Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepa­la Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.
Sabda Nabi SAW. :
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَتِبَهُ وَشَهِدَيْهِ. رواه مسلم
            “Dari Jabir, “ Rasulullah Saw. Telah melaknat ( mengutuk ) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (Riwayat Muslim)
Disebutkan pula pada QS. An-Nisa’ :160-161 Allah berfirman,
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym öNÍköŽn=tã BM»t7ÍhŠsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZŽÏWx. ÇÊÏÉÈ   ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ  
                Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah..”( QS. An-Nisa’ :160)
            Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. QS. An-Nisa’ :161)
QS. Ar-Ruum :39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
            “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum :39)
QS. Ali Imran : 130
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
                Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[3] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”( QS. Ali Imran : 130)
C. Riba: Tinjauan Historis
            Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami perkembangan dalam pemaknaan. Kajian mengenai riba,ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-Muslim, seperti Hindu, Budha (Rivai, dkk, 2007: 761), Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen (Antonio, 2001: 42).
            Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah “neshekh” dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat dalam Old Testament yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang miskin dan mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan  riba (Antonio, 2001: 43). Diantaranya adalah sebagai berikut:
1)  Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakansebagai berikut:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang  dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engakau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bungauang terhadapnya”.
2)  Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyebutkan sebagai berikut:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan”.
3)  Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan sebagai berikut:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanyadengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.
            Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktekriba merupakan tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988: 124). Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga 1 M, terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya (Antonio, 2001: 43). Sementara itu, pada masa Romawi, sekitarabad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang membolehkan penduduknyamengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu sebagai berikut:
1) Bunga maksimal yang dibenarkan: 8%-12%
b) Bunga pinjaman biasa di Roma: 4%-12%
c) Bunga di wilayah taklukan Roma: 6%-100%
d) Bunga khusus Byzantium: 4%-12%
            Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga tersebut dicela oleh para ahli filsafat Yunani, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), begitu pula para ahli filsafat Romawi, sepertiCato (234-149 SM), Cicero (106-43 SM) dan Seneca (4 SM-65 M) mengutuk praktikbunga, yang digambarkannya sebagai tindakan tidak manusiawi (Islahi, 1988: 124).
            Konsep riba di kalangan Kristen mengalami perbedaanpandangan, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sebagai berikut:
            Pertama, pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII)  yang mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab Perjanjian Lama dan undang-undang dari gereja. Pada abad IV M, gereja Katolik  Roma melarang praktik riba bagi para pendeta, yang kemudian diperluas bagi kalangan awam pada abad V M. Pada abad VIII M, di bawah kekuasaan Charlemagne, gereja Katolik Roma mendeklarasikan praktik riba sebagai tindakan kriminal (Iqbal dan Mirakhor, 2007: 71).
            Kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung membolehkan bunga, dengan melakukan terobosan baru  melalui upaya melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi  interestdan  usury. Menurut mereka, interestadalah bunga yang diperbolehkan sedangkan  usuryadalah bunga yang berlebihan. Para sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pemikiran bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) (Antonio, 2001: 47).
            Ketiga, pandangan para reformis Kristen (abad XVI-1836) seperti Martin Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John Calvin (1509-1564) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga (interest). Pada periode ini, Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 bunga (interest) resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10%. Kebijakan ini kembali diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1571 (Karim, 2001: 72; Rivai, dkk, 2007: 763).
            Dengan latar belakang sejarah tersebut di atas, maka seluruh praktik operasionalisasi perbankan modern yang mulai tumbuhdan berkembang sejak abad XVI M ini menggunakan sistem bunga. Sistem bunga ini mulai tumbuh, mengakar, dan mendarah-daging dalam industri perbankan modern sehingga sulit untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan bahwa bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Jika tanpa bunga, maka sistem perbankan menjadi tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh (Mannan, 1997: 165).
            Sementara itu, riba telah jelas dan tegas dilarang  dalam Islam. Pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti pelarangan minuman keras. Adapun tahap-tahap pelarangan riba dalam al-Qur'an dapat dijelaskan sebagai berikut:
            Tahap pertama, disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39).
            Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yangpedih (QS. An-Nisa’: 160-161).
            Tahap ketiga, pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini  turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga  pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umumpada waktu itu adalah berlipat ganda.
            Tahap keempat merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang  jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang yang mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279).



[1] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah
[2] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya
[3] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar