Jumat, 20 Desember 2013

METODE PENGHAPUSAN BUNGA

METODE PENGHAPUSAN BUNGA
I.            PENDAHULUAN
Dalam perbankan Islam (syariah), salah satu konsep yang membedakan dengan perbankan konvensional adalah pembagian imbalan kepada investor (pemilik dana) dari hasil usaha yang dilakukan oleh debitur (pengelola dana). Jelas, bahwa konsep yang dianut oleh perbankan konvesional menerapkan sistem bunga yang besarnya ditetapkan pada saat awal akad sedangkan dalam perbankan syariah menerapkan sistem profir sharing dan revenue sharing yang besarnya ditetapkan dengan menggunakan nisbah yang diperoleh dalam usaha debitur dan disepakati pada saat awal akad. Perhitungan pembagian profit sharing atau revenue sharing antara investor dan debitur diperoleh dengan menggunakan akad mudharabah. Meski penerapan kedua konsep (profit sharing dan revenue sharing) ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi diperbolehkan untuk diterapkan. Sehingga Profit sharing dan revenue sharing merupakan pengganti bunga dalam perbankan konvensional.
Mekanisme bagi hasil menjadi salah satu ciri atau karakteristik perbankan syariah, dimana dengan dengan bagi hasil ini menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat bisnis, khususnya masyarakat perbankan untuk terhindar dari bunga atau riba. Hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 275, dimana Allah SWT mengharamkan segala bentuk transaksi yang mengandung unsur-unsur ribawi, karena unsur tersebut tidak mendatangkan kemashlahatan bahkan hanya bisa mendatangkan keburukan, sehingga sedini mungkin harus dihindarkan.

II.            PERUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud bunga bank dan bagi hasil?
B.     Bagaimana mekanisme perhitungan bagi hasil dalam perbankan syariah?
C.     Apa saja unsur-unsur yang dibagikan dalam bagi hasil?
D.    Bagaimana penghitungan dalam akad mudharabah?
E.     Bagaimana legalitas profit sharing dan revenue sharing?
F.      Apa saja kelebihan dan kekurangan profit sharing dan revenue sharing?
G.    Table perbedaan sistem bunga bank dengan sistem bagi hasil



III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bunga Bank Dan Bagi Hasil
            Pengertian Bunga Bank
            Bunga Bank adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu dan diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan persentase yang ditentukan oleh pihak yang memberikan pinjaman.
            Pengertian Bagi Hasil
Sistem  Bagi Hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

B.     Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil Yang Dalam Perbankan Syari’ah
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu:
1.Profit Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). 
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.    
Sistem profit and loss sharing  dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. 
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.  
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue[1]   
2. Revenue Sharing 
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
             Revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. 
                  Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. 
             Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. 
             Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
Jenis-jenis Akad Bagi Hasil:
a.       Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss  Sharing)
adalah mencampurkan salah satu dari macam harta  dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b.      Mudharabah(Trustee Profit Sharing)
adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.[2]

C.     Unsur-unsur yang Dibagikan
Konsep bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan diatas merupakan konsekwensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern. Dalam kontrak ini, return akan tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnis yangdiusahakan besar, maka kedua belah pihak akan mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, maka mereka mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal uang tertentu. Namun demikian, jika usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu rugi, maka kerugiannya dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Kemampuan shahibul maal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal shahibul maal dalam hal ini adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung 100% oleh shahibul maal. Di sisi lain, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka apabila terjadi kerugian, maka mudharib akan menanggung kerugian finansial 0% pula.
Pada dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang dikontribusikannya. Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan bila yang dikontribusikannya adalah kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktu dengan tidak mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha.
Inilah yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib diharuskan juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis kerugian oleh satu pihak yaitu mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang dalam Islam.
Namun perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka dia yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan dalam prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah yang disepakati atau keluar dari ketentuan kerjasama, maka mudharib harus menanggung kerugian bisnis sesuai dengan kelalaiannya sebagaisanksi dan tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
“Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang diberi modal untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah serta tidak membeli hewan yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka telah sampai kepada Rasulullah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Abbas dan Rasulullah membolehkannya.”(HR. Tabrani dari ibnu Abbas)
Selanjutnya, untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh adalah diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari ketentuan-ketentuan diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak akan merasa dirugikan dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun rugi.
Konsep profit and loss sharing ini jauh lebih bersifat kemanusiaan dibanding dengan konsep bagi hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional. Konsep revenue sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operasional usaha seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan kepada mudharib atau pengelola. Hal itu tentunya sangat merugikan bagi mudharib, karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal itu mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara revenue dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep revenue sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.
Di sinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan bagi-hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian Mudharabah ini, rabb al-mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan hasil keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan diperoleh.
Pada prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al-mal dan 100% pengelolaan bisnisnya dilakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan, maka untung nya dibagi antara rabb al-mal dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka kerugian sepenuh nya ditanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari mudharib maka sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi nya kerugian pada usaha tersebut.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian sipengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 atau 56 persen dari hasil investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12 persen.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut.
Misalkan, dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan Rp.5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Secara umum akad mudharabah juga dapat dipraktekkan sebagai berikut:
1. Rekanan atau simple partnership, dimana pihak pertama memberikan modalnya sebagai rabb al-mal dan pihak kedua menjadi mudharib atau managernya dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama pada saat akad di lakukan.
2. Dana investasi mudharabah, seperti deposito mudharabah, di mana nasabah sebagai rabb al-mal datang ke bank dan menyetorkan sejumlah uang nya untuk di kelola oleh pihak bank yang bertindak sebagai mudharib, nisbah atau bagi-hasil dapat di negosiasikan antara pihak nasabah dan pihak bank syariah.
3. Project financing, Bank syariah yang bertindak sebagai rabb al-mal memberikan pembiayaan kepada nasabah yang bertindak sebagai mudharib atau project manager nya.
4. Letter of credit atau L/C, Nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana nya pada rekening dengan menggunakan akad wadiah di Bank syariah, dan sebagai mudharib bank akan menerbitkan LC dan melakukan pembayaran pada pihak lain dengan menggunakan dana nasabah yang ada di bank, bagi hasil keuntungan dari usaha nasabah akan di berikan kepada bank sesuai dengan perjanjian di muka.
5. Takaful, dimana pada rekening investasi, nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana investasi nya kepada pihak takaful sebagai mudharib yang akan mengelola dana tersebut dengan konsep bagi hasil.

D.    Penghitungan dalam Akad Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Jenis-jenis Mudharabah :
a. Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf) 
b. Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. 
Rukun Mudharabah :
a. Pemilik Modal (Shahibul amal)
b. Pengelola Modal (Mudharib)
Drs. H. Karnaen Perwataatmadja, MPA dan DR. H. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec dalam buku tentang Apa dan Bagaimana Bank Islam (1993) mengetengahkan secara lengkap tata cara perhitungan dan pemberian imbalan kepada pemegang rekening giro wadi’ah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah, sebagai berikut:
Mula-mula bank menetapkan dalam bobot tertentu berapa persen dana-dana yang disimpan itu mengendap dalam satu tahun sehingga bisa digunakan dalam pembiayaan bank. Menurut statistik, dana dari simpanan giro wadi’ah hanya mengendap kurang lebih 70%,tabungan mudharabah 100%, sedangkan deposito mudharabah tergantung dari jangka waktunya masing-masing.
Apabila jangka waktunya 1 tahun, daya endapnya mencapai 100%, apabila kurang dari 1 tahun berarti lebih kecil 100% dan sebaliknya apabila lebih dari 1 tahun berarti lebih besar dari 100%. Prosentase yang mengendap itu menunjukkan prosentase dari dana tersebut yang berhak atas bagi hasil bank.
Tahap kedua, bank menetapkan jumlah masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi hasil usaha bank menurut jenis simpanan yaitu giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah menurut jangka waktunya sendiri-sendiri. Adapun cara perhitungannya yaitu prosentase simpanan yang mengendap pada butir 1 dikalikan dengan total simpanansesuai dengan jenisnya masing-masing.
Tahap ketiga, bank menetapkan jumlah “pendapatan bagi hasil untuk masing-masing jenis simpanan”. Perhitungannya dilakukan dengan cara mengalikan total pendapatan bank yang akan dibagihasilkan dengan hasil pembagian antara jumlah “simpanan per jenisnya” pada butir 2 dengan jumlah “simpanan secara keseluruhan”.
Tahap keempat, bank menetapkan porsi bagi hasil antara bank dengan nasabah per jenis simpanan sesuai dengan situasi dan kondisi pasar yang berlaku.
Sebagai contoh, bonus bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening giro wadi’ah adalah 75% : 25% bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening tabungan mudharabah 50% : 50%. Bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening deposito mudharabah 30% : 70%.
Tahap kelima, bank menghitung dan menetapkan besarnya bagi hasil per jenis simpanan sesuai porsinya masing-masing pada butir 4.
Dan sebagai perhitungan akhir, bank menetapkan besarnya bagi hasil untuk “setiap pemegang rekening” melalui perbandingan antara jumlah simpanan yan g bersangkutan dengan total simpanan per jenisnya, lalu dikalikan dengan total pendapatan pada butir 5.
E.     Legalitas Profit Sharing dan Revenue Sharing
Berdasarkan dalil-dalil dan setelah menelaahnya maka DSN menetapkan fatwa tentang distribusi hasil usaha dalam LKS antara lain:
Pada dasarnya LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)nya sesuai dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih. Bila salah seorang menetapkan sendiri penetapan tentang pola bagi hasil usaha yang akan digunakan namun pihak lain juga harus menyetujui penetapan itu.
Diperbolehkannya kedua sistem tersebut dengan melihat bahwa baik prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) belum ditemukan dalil nash yang mengharamkan atau melarang prinsip tersebut.
Dilihat dari segi kemaslahatannya (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). Karena pada prinsip sistem profit sharing yang di dalam penerapannya banyak kendala, diantaranya adalah sulitnya pengakuan atau estimasi biaya yang dikeluarkan dalam usaha, serta rumitnya pola pembagiannya pada prinsip perbankan modern, maka pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) yang akan memberi kemudahan bagi kedua belah pihak dalam pembagian perolehan hasil usaha.
Prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) adalah termasuk dalam muamalah. Dalam kaidah fiqih, semua muamalah itu diperbolehkan kecuali bila ada dalil yang mengharamkan tentang prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan bagi untung (profit sharing) maka kedua prinsip tersebut boleh digunakan dalam LKS. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Revenue pada perbankan syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Revenue di dalam arti perbankan yaitu jumlah dari pengasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pijaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
F.      Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan dari sistem Profit and Loss Sharing dan sistem Revenue Sharing dibandingkan dengan sistem konvensional adalah:
1. Merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek;
2.Tingkat investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidaktentuan hasil produksinya.
Sedangkan kelemahan sistem profit and loss sharing dalam penerapannya menyebabkan berbagai problem yang berkaitan dengan penggunaan profit and loss sharing dalam aktivitas investasi bank-bank Islam.
Berdasarkan teori perbankan Islam kontenporer, prinsip mudharabah dan musyarakah dijadikan sebagai alternative penerapan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Meskipun demikian, dalam prakteknya, ternyata signifikasi profit and loss sharing dalam memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan Islam, hal ini terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
a.    Standar moral
Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkembang di kebanyakan komunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan profit and loss sharing sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini bank-bank Islam menggunakan pembiayaan profit and loss sharing yang diberikan setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap bisnis yangakan dijalankan, dana hanya akan diberikan kepada partner yang efisien dalam mengelola bisnis,jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan adalah profitable, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek dan bukan untuk pembiayaan jangka panjang serta bukan pembiayaan untuk lembaga.
b. Ketidakefektifan model pembiayaan profit and loss sharing
Pembiayaan profit and loss sharing tidak melayani berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Meskipun demikian, profit and loss sharing yang diterapkan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilaksanakan ke dalam kredit institusional menjadi terlambat. Berbagai problem yang berkaitan dengan aplikasinya prinsip mudharabah dan musyarakah pada level kredit institusional benar-benar tidak dapat di pakai.
Alasannya adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanjanya, dengan demikian permintaan pemakaian pinjaman dengan mengggunakan sistem profit and loss sharing menjadi tidak terpenuhi.
c.  Berkaitan dengan para pengusaha
Keterkaitan bank dengan peminjam, sistem profit and loss sharingdalam membantu perkembangan usaha lebih banyak terlibat secara langsung dari pada sistem lainnya pada bank konvensional. Bank-bank Islam memerlukan informasi lebih detail tentang aktivitas bisnis yang mereka biayai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis partnernya. Pada sistem lain, keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih memita kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan dana yang mereka pinjamkan.
d. Dari segi biaya
Memberikan dana berdasarkan sistem bagi hasil profit and loss sharing memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pada pihak bank dalam menyalurkan dana-dananya. Bank-bank Islam kemungkinan besar meningkatkan kualitas kepegawaian mereka dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang mereka pinjami untuk mencermati lebih teliti dan lebih jeli dari pada teknis peminjaman pada bank konvensional. Ini akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para banker dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya yang secara langsung akan berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Hal ini akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai dana tersebut. Tambahanbiaya yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga efektifitas operasional perbankan Islam kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang di tanggung oleh partner ketika mengembalikan dana pinjaman yang berdasarkan sistem bagi hasilprofit and loss sharing.
e.    Dari segi teknis
Problem teknis menyangkut penggunaan sistem bagi hasil profit and loss sharing tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah (partner), dan kualkulasi keuntungan (profit calculation). Pada satu sisi dari bank Islam sendiri, profesional pegawai pada saat itu dari segi keahlian dan pengetahuan yang luas tentang perilaku aktifitas ekonomi yang berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha. Dari pihak nasabah (partner), kebutahurufan yang kebanyakan masih menyelimuti masyarakat dunia muslim akan jelas menyulitkan untuk membuat catatan-catatan akuntan yang mendetail.
Permintaan untuk membuat catatan-catatan akuntansi yang mendetail sulit dipenuhi, yang menjadikan masyarakat lebih suka menggunakan sistem pembiayaan di bank konvensional dari pada mengalami masalah membuat buku pegangan yang mendetail.
Kalkulasi keuntungan dalam menggunakan sistem bagi hasil profit and loss sharing juga mengalami kesulitan. Meskipun di dalam khazanah fiqih dijelaskan mengenai petunjuk perhitungan keuntungan tersebut, namun kenyataannya dalam praktek kelihatannya tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam mengenai cara melakukan perhitungan keuntungan, yang dalam istilah akuntannya bersifat subyektif. Berbagai macam cara perhitungan keuntungan ini berpangkal dari dalam penempatan pada modal aktifa dan tanggungan pasiva. Penilaian ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat penurunan modal tertentu modal tertentu, serta kebijakan mengenai kebijakan cadangan dan persediaan. Oleh karenanya, dlam bisnis yang sama dapat menunjukkan keuntungan yang berbeda tanpa menaruh curiga, adanya kesalahan dalam perhitungan.
f.       Kurang menariknya sistem profit and loss sharing dalam aktiva bisnis
Dalam lapangan bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem profit and loss sharingtidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan mereka oleh pihak bank juga intervensi bank teradap urusan manajemn mereka. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga, pendapatan yang diperoleh pasti, dan biaya pinjaman diketahui dengan jelas.
g.      Permasalahan efisiensi
Tingkat investasi mungkin lebih tinggi di bawah sistem profit and loss sharing dari pada sistem lainnya, karena dalam sistem profit and losssharing diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan. Karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil prodksinya, serta tidak adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi yang riil. Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menanggung resiko kemungkinan akan mendorong investasi lebih berisiko. Meskipun kesanggupan ini juga akan mengurangi penekanan biaya-biaya untuk efisiensi kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan tertentu cukup mengesankan.
Sedangkan sistem revenue sharing mengandung kelemahan, yaitu apabila tingkat pendapatan bank sedemikian rendah maka bagian bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh bank, tidak mampu membiayai kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar dari pada pendapatan fee) sehingga merupakan kerugian bank dan membebani para pemegang saham sebagai penanggung kerugian. Sementara para penyandang dan atau investor lain tidak akan pernah menanggung kerugian akibat biaya operasional tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung bank menjamin nilai nominal nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin terjadi pendapatan negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syari’ah, sistem revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi’ah yang oleh karena itu tidak dapat di kategorikan sebagai kuasi ekuitas.
G.    Rumus Dan Table Perbedaan Sistem Bunga Bank Dengan Sistem Bagi Hasil Rumus sistem bunga bank dengan sistem bagi hasil
Rumus penetapan pendapatan yang akan didistribusikan,yaitu jenis dan jumlah.  Perhitungan pendapatan bagi hasil dan pendapatan bunga yang diterima oleh Nasabah dihitung dengan menggunakan rumus :
    Pendapatan Bagi Hasil = Jmlh hari  X  %Rate Return  X   Jmlh So Tabungan 
                                                                             365
   Pendapatan  Bunga = Jmlh Hari   X   %Bunga   X   Jmlh So.Tabungan
                                                                 365
  
Akan diperoleh distribusi bagi hasil tiap nasabah. Selanjutnya untuk  bagi hasil nasabah menggunakan  rumus :
      Bagi Hasil =  % Nisbah  X  Distribusi Bagi Hasil

      Rate Return = BBH  X  Jumlah Hari dalam 1 tahun  X  100%
                         SRH               Jumlah Hari
      Keterangan :    BBH = Bonus Bagi Hasil
                           SRH = Saldo Rata-rata Harian Pihak ke-3 
      Perbedaan Sistem Bunga Bank dengan Sistem Bagi Hasil
      Tabel Sistem Bunga Bank dengan Bagi Hasil
No.
Sistem Bunga
Sistem Bagi Hasil
1
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
2
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
3
Tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
4
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil
5
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

IV.            Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbagai macam pihak yang terkait, oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu adanya kerja sama antara berbaga macam pihak yang terkait untuk meningkatkan komposisi pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama,profit sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. revenue sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Di dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan. Saran dan kritik yang membangun selalu saya harapkan,  demi kesempurnaan makalah ini dan makalah berikutnya. Semoga ada manfaatnya.Amien. 



1 komentar: