METODE
PENGHAPUSAN BUNGA
I.
PENDAHULUAN
Dalam
perbankan Islam (syariah), salah satu konsep yang membedakan dengan perbankan
konvensional adalah pembagian imbalan kepada investor (pemilik dana) dari hasil
usaha yang dilakukan oleh debitur (pengelola dana). Jelas, bahwa konsep yang
dianut oleh perbankan konvesional menerapkan sistem bunga yang besarnya
ditetapkan pada saat awal akad sedangkan dalam perbankan syariah menerapkan
sistem profir sharing dan revenue sharing yang besarnya ditetapkan dengan
menggunakan nisbah yang diperoleh dalam usaha debitur dan disepakati pada saat
awal akad. Perhitungan pembagian profit sharing atau revenue sharing antara
investor dan debitur diperoleh dengan menggunakan akad mudharabah. Meski
penerapan kedua konsep (profit sharing dan revenue sharing) ini memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi diperbolehkan untuk diterapkan.
Sehingga Profit sharing dan revenue
sharing merupakan pengganti
bunga dalam perbankan konvensional.
Mekanisme
bagi hasil menjadi salah satu ciri atau karakteristik perbankan syariah, dimana
dengan dengan bagi hasil ini menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat
bisnis, khususnya masyarakat perbankan untuk terhindar dari bunga atau riba.
Hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah
ayat 275, dimana Allah SWT mengharamkan segala bentuk transaksi yang mengandung
unsur-unsur ribawi, karena unsur tersebut tidak mendatangkan kemashlahatan
bahkan hanya bisa mendatangkan keburukan, sehingga sedini mungkin harus
dihindarkan.
II.
PERUMUSAN MASALAH
A. Apa yang dimaksud bunga bank dan bagi hasil?
B. Bagaimana mekanisme perhitungan bagi hasil dalam perbankan syariah?
C. Apa saja unsur-unsur yang dibagikan dalam bagi hasil?
D. Bagaimana penghitungan dalam akad mudharabah?
E. Bagaimana legalitas profit sharing dan revenue
sharing?
F.
Apa
saja kelebihan dan kekurangan
profit sharing dan revenue sharing?
G. Table perbedaan sistem bunga bank dengan sistem bagi hasil
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bunga Bank Dan Bagi Hasil
Pengertian Bunga Bank
Bunga Bank adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi
pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut, berdasarkan
tempo waktu dan diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan persentase yang
ditentukan oleh pihak yang memberikan pinjaman.
Pengertian Bagi Hasil
Sistem Bagi Hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian
atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut
diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara
kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah
merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan
syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih
dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil
antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing
pihak tanpa adanya unsur paksaan.
B. Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil Yang Dalam Perbankan
Syari’ah
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di
dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu:
1.Profit Sharing
Profit sharing menurut
etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah
perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu
perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah
perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan
setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
tersebut.
Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai
adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan
sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas
hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam
pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan
pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan
usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam
usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian
akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal
investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak
mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian
setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah
dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa
negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari
pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya
menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan
bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas
pengurangan total cost terhadap total revenue. [1]
2. Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari
bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang
berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk
kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue
sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue di
dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank
adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya
atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada
perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi)
ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain.
Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil
penerimaan bank.
Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan
istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung
dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan
dana.
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan
adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang
diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku
pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan
kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi
hasil untuk produk pendanaan bank.
Jenis-jenis Akad Bagi
Hasil:
a. Musyarakah (Joint
Venture Profit & Loss Sharing)
adalah mencampurkan
salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat
dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah adalah
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.
b. Mudharabah(Trustee
Profit Sharing)
adalah suatu pernyataan
yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang
lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara
dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik
modal.[2]
C. Unsur-unsur yang Dibagikan
Konsep
bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau
disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi
dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan
diatas merupakan konsekwensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia
modern. Dalam kontrak ini, return akan tergantung kepada kinerja sektor
riilnya. Jika laba bisnis yangdiusahakan besar, maka kedua belah pihak akan
mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, maka mereka
mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini
hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase,
bukan dalam bentuk nominal uang tertentu. Namun demikian, jika usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan
didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka
dari itu kontrak ini menggunakan
istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase hanya
digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu rugi, maka kerugiannya dibagi berdasarkan porsi modal
masing-masing. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk
menanggung kerugian diantara kedua belah
pihak. Kemampuan shahibul maal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama
dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal
shahibul maal dalam hal ini adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung
100% oleh shahibul maal. Di sisi
lain, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka apabila
terjadi kerugian, maka mudharib akan menanggung kerugian finansial 0% pula.
Pada
dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang
ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang dikontribusikannya.
Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya adalah hilangnya uang
tersebut. Sedangkan bila yang dikontribusikannya
adalah kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktu dengan
tidak mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha.
Inilah
yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib
diharuskan juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis kerugian oleh satu pihak yaitu
mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang dalam Islam.
Namun
perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka
dia yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan keteledoran,
kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan pelanggaran,
kesalahan dalam prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah yang disepakati atau keluar dari
ketentuan kerjasama, maka mudharib harus menanggung kerugian bisnis sesuai
dengan kelalaiannya sebagaisanksi dan tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan
hadits nabi yang berbunyi:
“Diriwayatkan
oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika
menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang diberi modal
untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah serta tidak
membeli hewan yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka telah sampai kepada
Rasulullah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Abbas dan Rasulullah
membolehkannya.”(HR. Tabrani dari
ibnu Abbas)
Selanjutnya,
untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh adalah
diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari ketentuan-ketentuan
diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak akan merasa dirugikan
dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun rugi.
Konsep profit and loss sharing ini jauh lebih bersifat kemanusiaan
dibanding dengan konsep bagi hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional.
Konsep revenue sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu produksi.
Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari
kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari
usaha. Jadi biaya operasional usaha
seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan kepada mudharib atau pengelola. Hal itu tentunya sangat
merugikan bagi mudharib, karena dia
harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul
maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal itu mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang
ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara revenue dan
biaya operasional untuk suatu produksi.
Baik konsep revenue sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang
terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.
Di
sinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama,
bukan untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan
bagi-hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama
usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan
pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian Mudharabah
ini, rabb al-mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan
hasil keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak
dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan diperoleh.
Pada
prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al-mal dan 100%
pengelolaan bisnisnya dilakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha
tersebut menghasilkan keuntungan, maka untung nya dibagi antara rabb al-mal
dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka kerugian sepenuh nya
ditanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan
tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari
mudharib maka sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi
nya kerugian pada usaha tersebut.
Secara
teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak
pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian
sipengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Pola
transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan
pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja.
Dengan
menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan
bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan.
Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 atau 56 persen dari hasil
investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut
kira-kira setara dengan 11-12 persen.
Sedangkan
dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang
maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti
al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan
yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut.
Misalkan,
dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan Rp.5 juta/bulan. Dari pendapatan
tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta.
selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka,
misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Secara
umum akad mudharabah juga dapat dipraktekkan sebagai berikut:
1. Rekanan atau simple
partnership, dimana pihak pertama memberikan modalnya sebagai rabb al-mal dan
pihak kedua menjadi mudharib atau managernya dan laba dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama pada saat akad di lakukan.
2. Dana investasi mudharabah,
seperti deposito mudharabah, di mana nasabah sebagai rabb al-mal datang ke bank
dan menyetorkan sejumlah uang nya untuk di kelola oleh pihak bank yang
bertindak sebagai mudharib, nisbah atau bagi-hasil dapat di negosiasikan antara
pihak nasabah dan pihak bank syariah.
3. Project financing, Bank
syariah yang bertindak sebagai rabb al-mal memberikan pembiayaan kepada nasabah
yang bertindak sebagai mudharib atau project manager nya.
4. Letter of credit atau L/C,
Nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana nya pada rekening dengan
menggunakan akad wadiah di Bank syariah, dan sebagai mudharib bank akan
menerbitkan LC dan melakukan pembayaran pada pihak lain dengan menggunakan dana
nasabah yang ada di bank, bagi hasil keuntungan dari usaha nasabah akan di
berikan kepada bank sesuai dengan perjanjian di muka.
5. Takaful, dimana pada rekening
investasi, nasabah sebagai rabb al-mal menyetorkan dana investasi nya kepada
pihak takaful sebagai mudharib yang akan mengelola dana tersebut dengan konsep
bagi hasil.
D. Penghitungan dalam Akad Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di
mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini
menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal
dan keahlian dari pengelola.
Jenis-jenis Mudharabah
:
a. Mudharabah
Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada
pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam
usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap
bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan
usaha normal yang sehat (uruf)
b. Mudharabah
Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis
usaha dan sebagainya.
Rukun Mudharabah :
a. Pemilik Modal (Shahibul
amal)
b. Pengelola
Modal (Mudharib)
Drs.
H. Karnaen Perwataatmadja, MPA dan DR. H. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec dalam
buku tentang Apa dan Bagaimana Bank Islam (1993) mengetengahkan secara lengkap
tata cara perhitungan dan pemberian imbalan kepada pemegang rekening giro
wadi’ah, tabungan
mudharabah dan deposito mudharabah,
sebagai berikut:
Mula-mula
bank menetapkan dalam bobot tertentu berapa persen dana-dana yang disimpan itu
mengendap dalam satu tahun sehingga bisa digunakan dalam pembiayaan bank. Menurut statistik,
dana dari simpanan giro wadi’ah hanya mengendap kurang lebih 70%,tabungan
mudharabah 100%, sedangkan deposito mudharabah tergantung dari jangka waktunya masing-masing.
Apabila
jangka waktunya 1 tahun, daya endapnya mencapai 100%, apabila kurang dari 1
tahun berarti lebih kecil 100% dan sebaliknya apabila lebih dari 1 tahun berarti lebih besar dari 100%.
Prosentase yang mengendap itu menunjukkan prosentase dari dana tersebut yang
berhak atas bagi hasil bank.
Tahap
kedua, bank menetapkan jumlah masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi
hasil usaha bank menurut jenis simpanan yaitu giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito
mudharabah menurut jangka
waktunya sendiri-sendiri. Adapun cara perhitungannya yaitu prosentase simpanan
yang mengendap pada butir 1
dikalikan dengan total simpanansesuai dengan jenisnya masing-masing.
Tahap
ketiga, bank menetapkan jumlah “pendapatan bagi hasil untuk masing-masing jenis
simpanan”. Perhitungannya dilakukan dengan cara mengalikan total pendapatan bank yang akan
dibagihasilkan dengan hasil pembagian antara jumlah “simpanan per jenisnya”
pada butir 2 dengan jumlah “simpanan secara
keseluruhan”.
Tahap
keempat, bank menetapkan porsi bagi hasil antara bank dengan nasabah per jenis
simpanan sesuai dengan situasi dan kondisi pasar yang berlaku.
Sebagai
contoh, bonus bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening giro wadi’ah
adalah 75% : 25% bagi hasil antara bank dengan pemegang rekening tabungan mudharabah 50% : 50%. Bagi hasil antara bank dengan pemegang
rekening deposito mudharabah 30% : 70%.
Tahap
kelima, bank menghitung dan menetapkan besarnya bagi hasil per jenis simpanan
sesuai porsinya masing-masing pada butir 4.
Dan
sebagai perhitungan akhir, bank menetapkan besarnya bagi hasil untuk “setiap
pemegang rekening” melalui perbandingan antara jumlah simpanan yan g bersangkutan dengan total simpanan per jenisnya, lalu dikalikan dengan
total pendapatan pada butir 5.
E. Legalitas Profit Sharing dan Revenue
Sharing
Berdasarkan
dalil-dalil dan setelah menelaahnya maka DSN menetapkan fatwa tentang
distribusi hasil usaha dalam LKS antara lain:
Pada
dasarnya LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing)
maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan
mitra (nasabah)nya sesuai dengan akad yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih. Bila salah seorang
menetapkan sendiri penetapan tentang pola bagi hasil usaha yang akan digunakan namun pihak lain juga
harus menyetujui penetapan itu.
Diperbolehkannya
kedua sistem tersebut dengan melihat bahwa baik prinsip bagi hasil (revenue
sharing) atau bagi untung (profit sharing) belum ditemukan dalil nash yang mengharamkan atau
melarang prinsip tersebut.
Dilihat
dari segi kemaslahatannya (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya
digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). Karena pada prinsip
sistem profit sharing yang di dalam
penerapannya banyak kendala, diantaranya adalah sulitnya pengakuan atau
estimasi biaya yang dikeluarkan dalam usaha, serta rumitnya pola pembagiannya pada prinsip perbankan
modern, maka pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue
sharing) yang akan memberi
kemudahan bagi kedua belah pihak dalam pembagian perolehan hasil usaha.
Prinsip
bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing)
adalah termasuk dalam muamalah. Dalam kaidah fiqih, semua muamalah itu diperbolehkan kecuali bila ada dalil
yang mengharamkan tentang prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan bagi
untung (profit sharing) maka kedua prinsip tersebut boleh digunakan dalam LKS. Penetapan prinsip
pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.
Revenue
pada perbankan syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran
dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini
merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil
penerimaan bank.
Revenue
di dalam arti perbankan yaitu jumlah dari pengasilan bunga bank yang diterima
dari penyaluran dananya atau jasa atas pijaman maupun titipan yang diberikan
oleh bank.
F. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
dari sistem Profit and Loss Sharing dan sistem Revenue Sharing dibandingkan
dengan sistem konvensional adalah:
1. Merupakan
alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan
pembiayaan jangka pendek;
2.Tingkat
investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana
yang dapat dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian
hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan
ketidaktentuan hasil produksinya.
Sedangkan kelemahan sistem profit and loss sharing dalam penerapannya menyebabkan berbagai problem yang
berkaitan dengan penggunaan profit
and loss sharing dalam aktivitas
investasi bank-bank Islam.
Berdasarkan
teori perbankan Islam kontenporer, prinsip mudharabah dan musyarakah dijadikan
sebagai alternative penerapan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Meskipun demikian, dalam prakteknya, ternyata
signifikasi profit and loss sharing dalam memainkan operasional investasi dana
bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan Islam, hal
ini terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
a. Standar moral
Terdapat
anggapan bahwa standar moral yang berkembang di kebanyakan komunitas muslim
tidak memberikan kebebasan penggunaan profit and loss
sharing sebagai mekanisme
investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk mengadakan
pemantauan lebih intensif terhadap setiap
investasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan
berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini bank-bank Islam menggunakan pembiayaan profit and loss
sharing yang diberikan setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap
bisnis yangakan dijalankan, dana hanya akan diberikan kepada partner yang
efisien dalam mengelola bisnis,jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha
yang dijalankan adalah profitable,
serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek dan bukan untuk
pembiayaan jangka panjang serta bukan pembiayaan
untuk lembaga.
b. Ketidakefektifan
model pembiayaan profit and loss sharing
Pembiayaan
profit and loss sharing tidak melayani berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari
ekonomi kontemporer. Meskipun demikian, profit and
loss sharing yang diterapkan
dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk
menghapus bunga dalam berbagai macam
transaksi dan pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilaksanakan ke
dalam kredit institusional menjadi terlambat. Berbagai problem yang berkaitan dengan aplikasinya prinsip
mudharabah dan musyarakah pada level kredit institusional benar-benar tidak
dapat di pakai.
Alasannya
adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanjanya,
dengan demikian permintaan pemakaian pinjaman dengan mengggunakan sistem profit and loss
sharing menjadi tidak terpenuhi.
c. Berkaitan
dengan para pengusaha
Keterkaitan
bank dengan peminjam, sistem profit and loss sharingdalam membantu perkembangan usaha lebih banyak
terlibat secara langsung dari pada sistem lainnya pada bank konvensional.
Bank-bank Islam memerlukan informasi lebih detail tentang aktivitas bisnis yang
mereka biayai dan besar kemungkinan
pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis partnernya.
Pada sistem lain, keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih
memita kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan dana yang
mereka pinjamkan.
d. Dari
segi biaya
Memberikan
dana berdasarkan sistem bagi hasil profit and loss sharing memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pada
pihak bank dalam menyalurkan dana-dananya. Bank-bank Islam kemungkinan besar
meningkatkan kualitas kepegawaian mereka dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha
yang mereka pinjami untuk mencermati lebih teliti dan lebih jeli dari pada
teknis peminjaman pada bank
konvensional. Ini akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para banker
dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya yang secara langsung akan berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Hal
ini akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai dana tersebut.
Tambahanbiaya yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga
efektifitas operasional perbankan Islam kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang di tanggung oleh partner ketika
mengembalikan dana pinjaman yang berdasarkan sistem bagi hasilprofit and
loss sharing.
e. Dari segi teknis
Problem
teknis menyangkut penggunaan sistem bagi hasil profit and loss sharing tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah (partner),
dan kualkulasi keuntungan (profit
calculation). Pada satu sisi dari bank Islam sendiri, profesional pegawai
pada saat itu dari segi keahlian dan pengetahuan yang luas tentang perilaku aktifitas ekonomi yang
berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap
jaringan serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor
dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha. Dari pihak nasabah (partner),
kebutahurufan yang kebanyakan masih
menyelimuti masyarakat dunia muslim akan jelas menyulitkan untuk membuat
catatan-catatan akuntan yang mendetail.
Permintaan
untuk membuat catatan-catatan akuntansi yang mendetail sulit dipenuhi, yang
menjadikan masyarakat lebih suka menggunakan sistem pembiayaan di bank
konvensional dari pada mengalami masalah membuat buku pegangan yang mendetail.
Kalkulasi
keuntungan dalam menggunakan sistem bagi hasil profit and loss sharing juga
mengalami kesulitan. Meskipun di dalam khazanah fiqih dijelaskan mengenai petunjuk
perhitungan keuntungan tersebut, namun kenyataannya dalam praktek kelihatannya
tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam mengenai cara melakukan
perhitungan keuntungan, yang dalam istilah akuntannya bersifat subyektif.
Berbagai macam cara perhitungan keuntungan
ini berpangkal dari dalam penempatan pada modal aktifa dan tanggungan pasiva.
Penilaian ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat penurunan modal tertentu modal tertentu, serta
kebijakan mengenai kebijakan cadangan dan persediaan. Oleh karenanya, dlam
bisnis yang sama dapat menunjukkan
keuntungan yang berbeda tanpa menaruh curiga, adanya kesalahan dalam
perhitungan.
f. Kurang menariknya sistem profit and loss sharing dalam aktiva bisnis
Dalam
lapangan bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang
diperoleh berdasarkan sistem profit and loss sharingtidak diketahui
secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan
mereka oleh pihak bank juga intervensi bank teradap urusan manajemn mereka. Keadaan ini sangat berbeda dengan
sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga, pendapatan
yang diperoleh pasti, dan biaya
pinjaman diketahui dengan jelas.
g. Permasalahan efisiensi
Tingkat
investasi mungkin lebih tinggi di bawah sistem profit and loss sharing dari pada sistem lainnya, karena dalam sistem profit and losssharing diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana
yang dapat dipinjamkan. Karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian
hasil usaha yang diberikan kepada
pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil prodksinya, serta tidak
adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi
yang riil. Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menanggung resiko
kemungkinan akan mendorong investasi
lebih berisiko. Meskipun kesanggupan ini juga akan mengurangi penekanan
biaya-biaya untuk efisiensi kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan tertentu cukup mengesankan.
Sedangkan
sistem revenue sharing mengandung kelemahan, yaitu apabila tingkat pendapatan
bank sedemikian rendah maka bagian bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh bank, tidak mampu membiayai
kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar dari pada pendapatan fee) sehingga
merupakan kerugian bank dan membebani
para pemegang saham sebagai penanggung kerugian. Sementara para penyandang dan
atau investor lain tidak akan pernah menanggung kerugian akibat biaya
operasional tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung bank menjamin
nilai nominal nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin terjadi pendapatan
negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syari’ah, sistem revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi’ah yang oleh
karena itu tidak dapat di kategorikan sebagai kuasi ekuitas.
G. Rumus Dan Table Perbedaan Sistem Bunga Bank Dengan
Sistem Bagi Hasil Rumus sistem bunga
bank dengan sistem bagi hasil
Rumus penetapan
pendapatan yang akan didistribusikan,yaitu jenis dan jumlah. Perhitungan pendapatan bagi hasil dan
pendapatan bunga yang diterima oleh Nasabah dihitung dengan menggunakan rumus :
Pendapatan Bagi Hasil = Jmlh hari X
%Rate Return X Jmlh So Tabungan
365
Pendapatan Bunga = Jmlh Hari X
%Bunga X Jmlh So.Tabungan
365
Akan diperoleh distribusi bagi hasil tiap nasabah. Selanjutnya untuk
bagi hasil nasabah menggunakan rumus :
Bagi Hasil = % Nisbah X
Distribusi Bagi Hasil
Rate Return = BBH X Jumlah
Hari dalam 1 tahun X 100%
SRH
Jumlah Hari
Keterangan : BBH = Bonus Bagi Hasil
SRH = Saldo
Rata-rata Harian Pihak ke-3
Perbedaan Sistem Bunga Bank
dengan Sistem Bagi Hasil
Tabel Sistem Bunga Bank dengan Bagi Hasil
No.
|
Sistem
Bunga
|
Sistem Bagi Hasil
|
1
|
Penentuan suku bunga
dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
|
Penentuan besarnya
resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan
untung dan rugi
|
2
|
Besarnya prosentase
berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
Besarnya nisbah
(rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
3
|
Tidak tergantung
kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah
keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
|
Tergantung kepada
kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan
|
4
|
Eksistensi bunga
diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
|
Tidak ada agama yang
meragukan keabsahan bagi hasil
|
5
|
Pembayaran bunga
tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi
|
Bagi hasil tergantung
kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan
keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
|
IV.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan
bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbagai macam pihak
yang terkait, oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu
adanya kerja sama antara berbaga macam pihak yang terkait untuk meningkatkan komposisi
pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan
syari’ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama,profit sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil
bersih dari pendapatan yang diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan
pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. revenue sharing adalah
sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Di
dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah
sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai
pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola
maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai
pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan. Saran
dan kritik yang membangun selalu saya harapkan,
demi kesempurnaan makalah ini dan makalah berikutnya. Semoga ada
manfaatnya.Amien.
thanks mbak..
BalasHapusmaterinya bagus banget