Jumat, 20 Desember 2013

ETIKA DAKWAH


ETIKA DAKWAH
[Q.S AL BAQARAH (1) : 44]
I.                   MUQODIMAH
Istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu “ethos”  dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,  kebiasaan, adat, akhlak ,watak, perasaaan sikap,cara berpikir. Dalam bentuk jamak (taeta) artinya adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”. Sacara  etimolgis berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Menurut K. Bertens etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.[1]
Sedangkan menurut ulama terkemuka syekh Ali Mahfudz dakwah ialah upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyeru kepada perbuatan ma’ruf dan mencegah yang mungkar supaya mereka mendapatkan kegbahagiaan dunia dan akhirat.[2] Etika dakwah ialah bagaimana membentuk perilaku yang baik dalam kegiatan berdakwah, bukan hanya dalam bisnis saja etika diperlukan akan tetapi dalam kegiatan dakwah pun etika sangatlah dibutuhkan bahkan etika wajib ada pada kegiatan dakwah, untuk itu dibawah ini kami mencoba menguraikan point etika dalam berdakwah, untuk lebih jelasnya sebagai berikut.

II.                AYAT DAN TERJEMAH
QS. Al- Baqarah (1) : 44
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya:
“ Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik, dan kau melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak berpikir “                              ( Qs Al Baqarah : 44 )
III.             MUFRODAT
الْبِرِّ                 à        Al-Birr : Luasnya Kebaikan
                                    Dikatakan pula Al-Barr dan Al-Bariyyah artinya daratan luas
تَنسَوْن      à        Dan kamu melupakan, (tidak melakukan apa yang telah kamu                                              perintahkan)
أَفَلاَ تَعْقِلُونَ     à     Apakah kamu tidak berpikir? (apa kamu tidak waras? karena                                  kamu memerintahkan kebaikan tetapi kamu sendiri tidak                                          melakukan kebaikan itu).[3]

IV.             ASBABUN NUZUL
Ayat ini di tujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kitab, yakni para rahib dan pendeta. Ada sebuah riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa: bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi Madinah (Para pendeta dan rahiblah yang dianggap sebagai pemutus segala pekara, baik melarang ataupun memerintah. Dan para rahib itu sama sekali tidak mengatakan segala sesuatu kecuali sesuai dengan selera mereka. sementara merekapun tidak mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalam kitab, jika hukum tersebut bertentangan dengan kemauan nafsu mereka). Mereka memerintahkan kepada orang-orang yang mereka beri nasehat secara rahasia agar beriman kepada nabi Muhammad Saw, tetapi mereka sendiri tidak beriman.[4]
Imam As-sudi mengatakan “mereka memerintahkan orang-orang agar taat kepada Allah SWT dan melarang berbuat maksiat. Sedangkan mereka sendiri melakukan apa yang mereka larang”.
Turunnya Surat Al-Baqarah ayat 44 ini berhubungan dengan kaum Yahudi Madinah yang pada waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang telah masuk agama Islam : “Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar ia menyuruh  orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya.[5]

V.                KOLERASI AYAT
QS. Al-Fushilat : 33-35

ô`tBur ß`|¡ômr& Zwöqs% `£JÏiB !%tæyŠ n<Î) «!$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ tA$s%ur ÓÍ_¯RÎ) z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÌÌÈ   Ÿwur ÈqtGó¡n@ èpoY|¡ptø:$# Ÿwur èpy¥ÍhŠ¡¡9$# 4 ôìsù÷Š$# ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& #sŒÎ*sù Ï%©!$# y7uZ÷t/ ¼çmuZ÷t/ur ×ourºytã ¼çm¯Rr(x. ;Í<ur ÒOŠÏJym ÇÌÍÈ   $tBur !$yg9¤)n=ムžwÎ) tûïÏ%©!$# (#rçŽy9|¹ $tBur !$yg8¤)n=ムžwÎ) rèŒ >eáym 5OŠÏàtã ÇÌÎÈ  
Artinya:
33. “Dan tidak ada yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (mengesakan dan mematuhi perintah) Allah, serta ia sendiri mengerjakan amal yang soleh, sambil berkata: "Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang Islam (yang berserah bulat-bulat kepada Allah)!"
34. “Dan tidaklah sama (kesannya dan hukumnya) perbuatan yang baik dan perbuatan yang jahat. Tolaklah (kejahatan yang ditujukan kepadamu) dengan cara yang lebih baik; apabila engkau berlaku demikian maka orang yang menaruh rasa permusuhan terhadapmu, dengan serta merta akan menjadi seolah-olah seorang sahabat karib.”
35“Dan sifat yang terpuji ini tidak dapat diterima dan diamalkan melainkan oleh orang-orang yang bersikap sabar, dan tidak juga dapat diterima dan diamalkan melainkan oleh orang yang mempunyai bahagian yang besar dari kebahagiaan dunia dan akhirat.“
Korelasi ayat-ayat yang telah dituliskan terhadap etika berdakwah pada intinya didalam ayat tersebut menerangkan tentang etika seorang dai ketika menyampaikan isi dakwah tersebut. Karena seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya tidak asal menyampaikan, namun harus menyesuaikan kondisi lingkungan disekitarnya dan mengetahui kebutuhan dari mad’u itu sendiri.
Etika dalam berdakwah itu ada dua yang meliputi perilaku dan perkataan. Di sini sangat jelas sekali bahwasannya perilaku seorang dai dalam berdakwah dipertanggung jawabkan, tidak asal menyampaikan isi dakwah saja namun harus sesuai dengan apa yang diucapkan. Apapun yang di sampaikan oleh mad’u memberikan pengaruh  yang begitu pesat terhadap perubahan sehari-hari mad’u nya. Dan apabila etika-etika tersebut tidak digunakan maka seorang yang berdakwah bisa dikatakan orang munafik.
VI.             TAFSIR AYAT
(a.)       أَنْفُسَكُمْ وَتَنْسَوْنَ بِالْبِرِّ النَّاسَ مُرُونَ أَتَأْ, ayat ini ditujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kitab, yakni para rahib dan pendeta. Ada sebuah riwayat yang dceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi Madinah. Mereka memerintahkan kepada orang-orang yang mereka beri nasehat secara rahasia agar beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Tetapi mereka sendiri tidak pernah beriman.[6]
Para rahib dan pendeta yang seharusnya menjadi mubalaghah malah lupa akan tugas mereka, tugas mereka bukan hanya menyeru dengan pengamalan kosong akan tetapi keseimbangan antara nasehat dan perbuatan. Jadi seakan-akan ayat tersebut mengatakan “Jika kalian yakin terhadap janji Kitab atas hal-hal yang baik, dan ancaman-ancamannya jika ditinggalkan, mengapa kalian melupakan diri kalian?. Jelas sekali uslub seperti ini mengandung nilai celaan yang sangat tajam karena seseorang yang tidak konsekuen dengan apa yang dikatakan, maka hal tersebut akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
(b.)     الْكِتَابَتَتْلُونَ وَأَنْتُمْ, kalian lebih mengetahui kitab-kitab yang kalian pegang dibanding orang-orang yang kalian perintah agar mengikuti jejeak Nabi Muhammad Saw. Perbedaannya sangat besar antara orang-orang yang berbuat tetapi tidak mengetahui faedahnya, dengan orang yang tidak mengerjakan tetapi mengetahui keistimewaan-keistimewaah hal yang tidak dikerjakan tersebut.
(c.)       تَعْقِلُونَ أَفَلَا, Apakah kalian tidak mempunyai akal lagi sehingga kalian tidak bisa dikendalikan di dalam melakukan perbuatan yang mengundang bahaya? sebab orang yang mempunyai akal sekalipun tingkat kecerdasannya tidak seberapa, ia tidak akan mengaku dirinya telah menguasai atau mempunyai ilmu Kitab secara sempurna, kemudian ia menyeru kepada umat manusia untuk mengikuti hidayah dan menjelaskan kepada mereka bahwa kebahagiaan akan selalu bersamanya selama mengikuti petunjuk Al-Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkan dan tidak berpegang kepada apa yang ia perintahkan kepada orang lain, di samping tidak meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai larangan.
Makna yang terkandung dari ayat ini ialah, sekalipun pada asalnya ditujukkan kepada kaum Yahudi, juga merupakan contoh bagi siapa pun. Hendaknya setiap umat memperhatikan ibarat yang terdapat di dalam ayat ini. Kemudian, berhati-hatilah di dalam bertindak, jangan sampai melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kaum Yahudi, jika berbuat seperti kaum Yahudi, maka akan mendapat siksa yang sama. Hal ini karena pembalasan Allah itu didasarkan pada keyakinan hati dan perbuatan fisik. Jadi bukan karena jenis bangsa atau individu tertentu, siapapun yang berbuat melanggar, tentu akan menerima balasan setimpal dari Allah SWT.[7]
Ayat ini ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana ayat-ayat sebelumnya. Di sini Allah SWT mengecam orang-orang yang bersifat bengok dalam berbuat, dan selalu mengarah kepada kerusakan. Kemudian Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka agar beranjak dari kesesatan yang membingungkan mereka. Sebab, kaum Yahudi mengaku dirinya sebagai kaum beriman  kepada kitab mereka sendiri dan mengamalkan serta memelihara melalui kitab-kitab tersebut. Tetapi mereka tidak lah serius dalam mempelajarinya.
Para rahib dan pendeta menganggap diri mereka sebagai pemutus segala perkara, para rahib selalu sesuai dengan selera mereka, mereka tidak mengamalkan hukum-hukum yang terkandung dalam kitab, hukum-hukum dalam kitab justru berbanding terbalik dengan kemauan nafsu mereka. Para pendeta hanya berpegang pada prinsip keduniaan yang diikuti oleh para pengikutnya dan semakin keluar dari garis agama.[8]
Beberapa pelajaran dari ayat di atas (Al-Baqarah : 44) :
Pelajaran   Pertama   :
Ayat di atas merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ditujukan kepada Bani Israel, khususnya para pendeta Yahudi, karena mereka menyuruh manusia untuk berbuat baik, sedangkan mereka sendiri menyelisihinya.
Firman Allah : “ Apakah kamu menyuruh manusia “
 “ Manusia ” dalam ayat di atas mencakup dua pengertian. 
Pengertian pertama : Manusia di sini adalah orang-orang di luar Yahudi
Orang-orang Yahudi di Madinah sebelum kedatangan nabi Muhammad saw memberitahukan kepada para penduduk Madinah yaitu kabilah Auz dan Khozraj bahwa akan datang seorang nabi di akhir zaman di kota ini, dan mereka menyuruh penduduk Madinah untuk beriman kepadanya.  Namun ketika nabi Muhammad saw datang dan ternyata dari golongan Arab,maka seketika itu juga orang-orang Yahudi tidak mau beriman. Ini sesuai dengan firman Allah swt :
وَلَمَّا جَاءهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِندِ اللّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ وَكَانُواْ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَاءهُم مَّا عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّه عَلَى الْكَافِرِينَ
            “Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”( Qs Al Baqarah : 89 )
Pengertian kedua : Manusia dalam ayat itu maksudnya adalah orang-orang Yahudi sendiri.
Mereka menyuruh sanak kerabatnya yang sudah masuk Islam untuk tetap berada dalam agama Islam, karena menurut mereka agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw adalah benar, tetapi anehnya, mereka tetap tidak mau masuk Islam. Mereka juga menyuruh para pengikutnya untuk mengikuti isi Taurat, sedang mereka sendiri menyelesihinya.
Salah satu contohnya adalah seorang Yahudi yang anaknya sedang sakit keras. Ketika nabi Muhammad saw menjenguk anak tersebut dan menyuruhnya masuk Islam dan mengucapkan kalimat syahadat, tiba-tiba bapaknya yang Yahudi tersebut mengatakan : ” Wahai anakku dengar dan taatilah Abu Qasim ( yaitu nabi Muhammad saw ) “ . Dan benar saja anak tersebut mengucap kalimat syahadat sebelum ia meninggal dunia, sedang dianya sendiri tetap berada dalam agama Yahudi. Kemudian Rosulullah saw bergegas keluar seraya bersabda : “ Alhamdulillah ( segala puji bagi Allah ) yang telah menyelamatkannya dari api neraka dengan perantaraku.”
Pelajaran   Kedua  :
Firman Allah di atas ditujukan juga kepada orang-orang Kristen, karena mereka termasuk dalam kalimat ” Ahlu Al Kitab ” . Dan ternyata kita dapatkan banyak dari para pendeta Kristen menyuruh para pengikutnya untuk berbuat baik, akan tetapi mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Di bawah ini beberapa bukti bagaimana para pendeta itu berbuat kejahatan di balik tembok-tembok gereja yang mereka anggap tempat suci.
Sebagaimana kita ketahui para pendeta Kristen mengklaim bahwa mereka adalah manusia-manusia suci yang tidak membutuh sex. Maka dalam ajaran Vatikan terdapat apa yang dinamakan ” doktrin celibacy ” (larangan menikah bagi pastor).Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang paling haus dengan sex dengan melakukannya secara biadap dan  sembunyi-sembunyi.
Pelajaran Ketiga :
Hukuman di akherat bagi orang yang memerintahkan orang berbuat baik, sedang dia melupakan dirinya sendiri adalah seperti apa yang terungkap dalam hadist :                   “ Didatangkan seorang lak-laki pada hari kiamat , kemudian dia dilemparkan ke api neraka, terlihat usus perutnya berhamburan, dia berputar-putar dengan usus perut tersebut, sebagaimana keledai yang mengelilingi tonggak pengikat dengan tali ikatannya, kemudian para penghuni neraka mengelilingnya dan mereka berkata : “ Wahai fulan, kenapa keadaan kamu seperti ini ? bukankah engkau dahulu di dunia menyuruh orang berbuat kebaikan dan melarang kemungkaran ? Dia berkata : Benar, dahulu aku menyuruh kebaikan akan tetapi saya tidak mengerjakannya, dan saya melarang kemungkaran, tetapi saya justru malah mengerjakannya.“
Hadist di atas menunjukkan bahwa orang yang mengetahui kebaikan dan kemungkaran dan mengetahui juga kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar kemudian tidak mau melaksanakannya, hukumannya jauh lebih dasyat daripada orang yang tidak mengetahuinya sama sekali. Ini dikuatkan dengan hadist yang berbunyi : “ Orang yang paling pedih adzabnya pada hari kiamat adalah orang yang mempunyai ilmu , tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat”.[9]
Abu Aswad Duwali pernah menuliskan suatu syair yang sangat terkenal :
لا تنه عن خلق وتأتي مثله        عار عليم إذا فعلت عظيم
ابدأ بنفسك ، فانهها عن غيها         فإن انتهت عنه ، فأنت حكيم
فهناك يقبل  إن وعظت ويقتدى    بالقول منك وينفع التعليم  .
Janganlah kamu melarang sesuatu,sedangkan kamu melanggarnya sendiri…
Sungguh sangat idak pantas , jika kamu mengerjakan seperti itu….
Maka mulailah pada dirimu sendiri, laranglah dia dari berbuat jelek…
Jika dirimu sudah demikian, maka berarti anda orangyang bijak ….
Disitulah anda akan diterima perkataanmu jika engkau menasehati….
Anda akan ditiru dan bermanfaat juga pelajaran  yang engkau sampaikan….
Pelajaran Keempat  :
Apakah orang yang disiksa seperti itu, karena dia beramar ma’ruf dan nahi mugkar ? Dia disiksa bukan karena beramar ma’ruf dan nahi mungkar, akan tetapi dia disiksa karena dia meninggalkan perbuatan baik dan mengerjakan kemungkaran.
Oleh karenanya, di dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak disyaratkan pelakunya harus bersih dari dosa. Berkata Sa’id bin Jubair : Seandainya seseorang tidak akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar sampai dirinya bersih dari dosa, niscaya tidak akan ada orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar 
Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak bermar ma’ruf dan nahi mungkar, walaupun dia sendiri belum istiqamah, walaupun dia sendiri masih banyak berlumuran dosa, walaupun dia sendiri belum bisa melaksanakan kebaikan. karena dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar seseorang akan terpacu untuk selalu berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran, dengan demikian amar ma’ruf nahi mungkar merupakan sarana untuk menggembleng diri sendiri dan menggembleng masyarakat secara bersamaan.
Kita harus mengetahui juga bahwa manusia di dalam menghadapi kebajikan dan kemungkaran mempunyai empat kewajiban :
-  Dua kewajiban terhadap kebajikan, yaitu : Mengerjakannya untuk diri sendiri dan menyuruh orang lain untuk mengerjakannya.  
- Dua kewajiban terhadap kemungkaran, yaitu : Meninggalkannya untuk dirinya sendiri dan menyuruh orang untuk meninggalkannya.
Oleh karenanya, barang siapa yang belum bisa mengerjakan kewajiban untuk dirinya sendiri, hendaknya tetap menyuruh orang lain untuk mengerjakannya, dengan demikian dia telah mengerjakan salah satu kewajiban. Karena, jika dia tidak mengerjakan kewajiban untuk dirinya sendiri dan tidak juga menyuruh orang lain untuk berbuat kebajikan, berarti dia sudah meninggalkan dua kewajiban.
Begitu juga orang yang masih berbuat kemungkaran, hendaknya tetap menyuruh orang lain untuk meninggalkannya, dengan demikian dia telah mengerjakan satu kewajiban. Karena, jika ia yang masih mengerjakan kemungkaran untuk dirinya sendiri dan tidak melarang orang lain juga untuk meninggalkannya, berarti dia telah meninggalkan dua kewajiban.

Pendapat Ulama
Berkata Ibnu Katsir : “Pendapat yang benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa seorang ‘alim wajib beramar ma’ruf walaupun dia belum bisa melaksanakannya, dan wajib bernahi mungkar walaupun dia masih mengerjakannya”
Berkata Syekh Utsaimin : “ Lakukan amar ma’ruf, dan berusahalah untuk bisa mengamalkan kebaikan tersebut, sebaliknya lakukanlah nahi mungkar, dan berusahalah untuk menjauhi kemungkaran tersebut . ”
Hubungan dengan ilmu lain:
a.       Dalam ilmu akhlaq kita diwajibkan untuk selalu amanah dalam bertindak dan berucap begitu pula dalam Q.S Al baqarah : 44 dimana dalam ayat tersebut memberikan kita pelajaran untuk amanah dalam setiap tindakan.
b.      Dalam ilmu psikologi, psikis seseorang akan mudah terpengaruh akan tindakan kita apabila kita memberi contoh terlebih dahulu, tidak hanya memerintah saja. Tanpa ada tindakan riil.
c.       Begitu pula dengan ilmu-ilmu yang lain, kita harus beretika dalam segala bentuk perilaku dan perkataan apalagi dalam mensyiarkan agama.
VII.          HUKUM
A.    Hukum
1.      Haram, meniru perbuatan para pendeta Yahudi تَنسَوْن  Dan kamu melupakan, (tidak melakukan apa yang telah kamuperintahkan)
2.      Wajib, iman kepada kitab Allah sertta mengamalkannya.
B.     Hikmah
            Kisah Bani Israil patut menjadi pedoman umat umat Islam tentang bagaimana caranya menghadapi bani Israil (mad’u), kebiasaan buruk mereka yang selalu berucap dusta, janji mereka pun tidak dapat dipegang, mereka pandai memutar balikkan persoalan, membangkang terhadap seruan baik dan satu satunya jalan untuk menghadapi mereka adalah dengan persatuan dan kesatuan yang bulat dari umat Islam untuk membuat mereka jera dan bersedia mengikuti akidah Islam yang benar bukan berlandaskan nafsu belaka.[10]

VIII.       KESIMPULAN
      Dalam surat  Al-Baqarah ayat 44 ini mengandung kecaman kepada setiap pemuka agama yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Ada dua hal yang disebut dalam ayat ini seharusnya menghalangi pemuka-pemuka agama itu melupakan diri mereka. Pertama bahwa mereka meyuruh orang lain berbuat baik. Seseorang yang memerintahkan sesuatu pasti dia mengingatnya. Yang kedua adalah mereka membaca kitab suci. Bacaan tersebut seharusnya mengingatkan mereka. Tetapi ternyata keduanya tidak menghiraukan sehingga sungguh wajar mereka dikecam.
      Walaupun ayat ini turun dalam konteks kecaman kepada para pemuka agama Bani Isra’il, akan tetapi ayat ini juga ditujukan kepada setiap orang terutam para mubaligh dan para pemuka agama. Dalam surat Al Baqarah ayat 44 ini juga  menerangkan tentang etika dalam dakwah. Dakwah adalah ucapan dan perbuatan. Dakwah akan gagal apabila dua komponen yaitu antara ucapan dan ajakan mubaligh tidak sesuai dengan perilaku mubaligh tersebut tidak. Dakwah bisa dilakukan oleh semua orang, dimanapun dan kapanpun dia berada akan tetapi dakwah juga harus di pertanggungjawabkan, dakwah bukan hanya mengajak mad’u untuk berbuat kebajikan kemudian selesai, akan tetapi dakwah ialah bagaimana menyeru mad’u untuk berbuat kebajikan dan penerapan kebajikan tersebut juga harus diterapkan dalam diri para da’i.
  
                                                              Daftar Pustaka                                                             
Ø  Al-Maraghi. Ahmad Mustafa 1992l. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
Ø  Bakry. Oemer.1993. Tafsir Rahma. Jakarta: PT Mutiara.
Ø  Departemen Agama (SK Menteri Agama Munawir Sadzali). 1992. Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux. Semarang: Asy-Syifa.
Ø  Enjang dan Aliyudin, 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Jakarta:widya Pajajaran.
Ø  K. Bertens. 2007.Etika. Jakarta.Gramedia.
Ø  Toha. Muhammad Shohib 2010. Al-qur’an Tafsir  Perkata Tajwid Al-hidayah. Jakarta:CV.Kalim,



[1] K. Bertens, Etika, (jakarta.Gramedia:2007), hal. 4
[2] Enjang dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Jakarta:widya Pajajaran, 2009), hal6
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992l, hal 180
[4] Muhammad Shohib Toha, Al-qur’an Tafsir  Perkata Tajwid Al-hidayah,(Jakarta:CV.Kalim, 2010), hal 8
[5] Qamaruddin Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), hal 24
[6]  Ibid, Ahmad Mustafa Al-Maraghi, hal 183
[7] Ibid, Ahmad Mustafa Al-Maraghi, hal 184
[8] Ibid, Ahmad Mustafa Al-Maraghi, hal 182
[10]  Oemer Bakry, Tafsir Rahmat, (Jakarta: PT Mutiara, 1993), hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar