KARAKTERISTIK MANAJEMEN
[QS AL-HUJURAT (49): 6]
I.
MUQODIMAH
Secara etimologis, Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris
yakni characteristic, yang artinya
mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu.
Sedangkan Manajemen berarti mengurus, mengelola dan menjalankan. Jhonson
mengartikan manajemen sebagai suatu proses mengintegrasikan sumber-sumber yang
tidak berhubungan menjadi sumber total yang saling berkaitan untuk
menyelesaikan suatu tujuan.[1]
Karakteristik manajemen merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan manajemen,
sesuatu yang menjadi pembeda antara manajemen dengan hal lainnya, sesuatu yang
menjadi identitas manajemen, serta sesuatu yang menjadikan manajemen itu unik.
Dalam studi manajemen sendiri manajemen merupakan sebuah kegiatan dimana yang
menjadi salah satu ciri khasnya adalah fungsi-fungsi yang ada di dalam
manajemen itu sendiri, dalam Q.S Al-Hujraat ayat 6 jika kita analisis bersama
fungsi manajemen begitu erat kaitannya dengan surat Al-Hujraat Ayat 6 ini,
untuk lebih jelasnya marilah kita ulas bersama mengenai fungsi manajemen yang
berkaitan dengan Al-Hujraat ayat 6.
II.
AYAT DAN TERJEMAH
QS
AL-HUJURAT (49): 6
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika
datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita
itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun
sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan”. (QS al-Hujurat [49]:6)[2]
III.
MUFRODAT
-
فَاسِقٌ - Fasiq à Orang-orang
yang keluar dari batas-batas agama
-
تَبَيَّن -
Tabayyun à Mencari
kejelasan
-
نَبَأٍ - Naba’ à Berita,
Menurut Ar-Ragib berita tidak di sebut Naba’ kecuali bila memuat perkara besar yang demikian diperoleh pengetahuan (ilmu) atau persangkaan yang kuat.
-
بِجَهَالَةٍ - Bi
Jahalah à Dengan
kebodohan. Maksudnya perbuatan yang terlanjur mereka lakukan dan berangan-angan sekiranya hal itu tak pernah terjadi.[3]
IV.
ASBABUN NUZUL
Imam Ahmad meriwayatkan dari Harits Bin Dhirar
al-Khuzai’i yang berkata “Suatu ketika saya mendatangi Rasulullah. Beliau lalu
menyeru saya masuk Islam dan saya
menyambutnya. Setelah itu beliau menyeru saya untuk membayar zakat dan saya pun
langsung menyetujuinya. Saya kemudian berkata “Wahai Rasulullah, izinkan saya
kembali ke tengah-tengah kaum saya agar
saya dapat menyeru mereka kepada Islam dengan menunaikan zakat. Bagi mereka
yang memenuhi seruan saya itu maka saya akan mengumpulkan zakat mereka. Setelah
itu hendaknya engkau mengutus seorang utusanmu ke Iban dan disana saya akan
menyerahkan zakat yang terkumpul tersebut.
Akan tetapi sesampainya di Iban ia tidak menemukan utusan
Rasul. Harits lantas menyangka bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat (Allah
dan Rasulullah) marah kepadanya. Kemudian Harits mengumpulkan pemuka agama
untuk menghadap Rasulullah. Sementara itu Rasulullah mengutus Walid Bin Uqbah
untuk mengambil zakat dari kaum Harits namun di tengah perjalanan Walid merasa
bimbang karena takut dengan kaum Harits dan memutuskan kembali ke Madinah,
kemudian sesampainya Walid dihadapan Rasulullah, Walid berkata “Kaum Harits
menolak untuk menyerahkan zakatnya, bahkan ia juga bemaksud membunuh saya”
Mendengar hal itu Rasululah lantas mengirim utusan untuk
bertemu Harits. Dan ditengah perjalanan utusan Rasulullah bertemu dengan Harits
dan para pemuka agama. Kemudian utusan tersebut menceritakan kepada Harits
tentang apa yang telah terjadi. Segeralah Harits menemui Rasulullah dan
menceritakan yang sebenarnya. Kemudian turunlah Q.S Al Hujuraat Ayat 6.[4]
V.
KOLERASI AYAT
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu
berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu ; Berdirilah ! ",
maka berdirilah Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang~rang yang diberi ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang
kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui”. (Al- Mujadalah : 11)
Kolerasi dengan Q.S Al-Hujurat
ayat 6 :
1.
Kedua surat ini di awali dengan يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا
dimana keduanya ditunjukkan sebagai teguran untuk orang
mu’min.
2.
Dalam surat
Al-Mujadalah ayat 11 Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan hal-hal yang
membuat timbulnya rasa persahabatan. Misalnya melapangkan tempat untuk orang
yang datang ke majelis, dan berpindah tempat untuk melapangkan tempat apabila keadaan menghendaki. Apabila yang
demikian itu kita laksanakan, Allah akan meninggikan kedudukan kita di dalam
surga dan menjadikan kita diantara orang-orang yang berbakti.[5]
Sedangkan dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 menurut Imam Hanafi bahwa sanya
keterangan (informasi) dari orang fasik dapat kita jadikan sebagai saksi. Kedua
surat ini sama-sama menghimbau kepada kita untuk memberikan kesempatan.
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
artinya :
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya”. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Sedangkan surat
al-Isra 36 ini sebagai jawabah atas surat al-Hujuraat ayat 6 bahwa kita tidak
boleh mengikuti suatu informasi yang kita belum tau jelas kebenarannya, perlu
adanya kebenaran, ketelitian dan bukti untuk mempercayai suatu informasi.
VI.
TAFSIR AYAT
Dalam ayat ini dibahas enam masalah :
Pertama, Firman Allah Ta’ala يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa
berita”. Menurut pendapat ayat ini
diturunkan tentang Al-Walid bin Aqabah bin Abi Mu’ith. Hal tersebut berdasarkan
pada keterangan yang diriwayatkan oleh Sa’id dari Qatadah, bahwa nabi Muhammad
mengutus Al-Walid untuk memungut zakat dari Bani Mushthaliq. Ketika kaum Bani
Mushthaliq melihat Al-Walid, maka mereka pun menghadapnya, sehingga dia merasa
takut terhadap mereka. Dia kemudian kembali kepada Nabi SAW dan memberitahukan
bahwa mereka telah murtad dari agama islam.
Nabi pun kemudian mengutus Khalid bin Al-Walid dan memerintahkannya untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti
dan tidak tergesa-gesa. Khalid kemudian berangkat (ke tempat mereka), sehingga
dia tiba ditempat mereka pada malam hari. Maka Khalid pun mengutus
mata-matanya. Ketika mereka pulang, mereka memberitahukan kepada Khalid bahwa
kaum Bsni Mushthaliq itu masih memeluk agama islam dan mereka pun mendengar
suara adzan dan shalat mereka.
Keesokan harinya Khalid mendatangi kaum Bani Mushthaliq
dan dia pun melihat secara langsung kebenaran yang dikatakan mata-matanya. Dia kemudian kembali kepada nabi SAW dan memberitahukan hal
itu. Maka turunlah ayat ini. Nabi kemudian bersabda,
اَلتَّٰأَنِي مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya :
“Perlahan-lahan itu dari Allah,
sedangkan tergesa-gesa itu dari syetan”.[6]
Bahwa ayat ini memerintahkan
orang-orang beriman untuk menyelidiki, memeriksa dan tidak terburu-buru
melontarkan tuduhan jika mereka di bawa khabar atau cerita oleh seseorang yang
fasiq. Tindakan meneliti terlebih dahulu suatu berita sangat diperlukan agar
kita tidak menjadi orang bodoh atau jahil sebagaimana ditimbulkan di akhir ayat
ini supaya menjauhi kejahilan ini kerana kelak pada suatu masa kita akan
menyesal dengan perbuatan kita dengan sepenuh sesalan.[7]
Namun, timbul pula persoalan tentang
siapa yang dikatakan atau yang mempunyai ciri-ciri fasiq dalam surat
Al-Hujuraat ayat 6 ini. Fasiq menurut para ulama’ ialah mereka yang melakukan
dosa-dosa besar dan sudah tentu orang kafir tergolongan dari kalangan fasiq
kerena secara nyata mereka menyekutukan Allah SWT. Begitu pula dengan persoalan
penyesalan dalam ayat ini. Apakah begitu besar atau dahsyat penyesalan bagi
yang akan di alami akibat dari menyebarkan berita tidak pasti atau berita
palsu. Tentunya akan begitu besar pengaruh yang ditimbulkan dalam berita palsu
karena persepsi negatif dalam diri akan memakan diri dan menampakkan keburukan
orang sesama muslim di mata muslim yang lain. Dan pada akhirnya nanti akan
timbul perpecahan antara satu sama lain.
Ibnu Zaid. Muqatil, dan Sahl bin
Abdullah berkata, “ Al-Faasiq adalah orang yang sering berdusta”.
Abu Al Hasan Al waraq berkata, “
Al-Faasiq adalah orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa.”
Ibnu Thahir berkata “ Al Faasiq
adalah orang yang tidak malu kepada Allah.”[8]
Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 6 terdapat kata ( إِنْ ) in / jika yang
biasa digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Ini
mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman
diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik mengetahui
bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti
kebenaran setiap informasi sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan
kebohongannya.
Kata ( فَاسِقٌ ) fasiq terambil
dari kata(فَسَقَ) fasaqa yang biasa
digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang
sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar
dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa
kecil.
Kata ( نَبَأٍ) nabain digunakan
dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata (خبار) khabar yang berarti kabar
secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya
memilih informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa
informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk
menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan
didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dari waktu
yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Hamzah
dan Al-Kisa’i membaca firman Allah itu dengan : فَثَبِتُوْا – diambil dari kata At-tatsabut. Adapun yang lain, mereka
membaca firman Allah itu dengan : فَتَبَيَّنُوا – diambil dari kata At- Tabyiin.
Firman
Allah, أَنْ تُصِيبُوا”agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah,” yakni agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah. Dengan demikian, lafazh أَنْ berada pada
posisi nashab, karena gugurnya huruf yang menjarkanya
Kata
(بِجَهَالَةٍ) bijahalah dapat berarti tidak
mengetahui dan dapat diartikan serupa dengan makna kejahilan, yakni
perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal
yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun
kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan
nilai-nilai ajaran Ilahi.
Kata
(تُصْبِحُوا) tushbihu pada mulanya
berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat
diatas mengisyatratkan bagaimana sikap seseorang yang beriman dikala melakukan
satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat di atas, dilukiskan sebagai فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ,
yakni segera dan berpagi-pagi menjadi orang yang penuh penyesalan.[9]
Dalam
Q.S Al-Hujuraat ayat 6 Allah menjelaskan bahwa apabila datang seorang fasik
kepada kaum mukmin, yang mereka terang-terangan meninggalkan syi’ar agama,
membawa sesuatu berita penting, janganlah kamu lantas mempercayainya sebelum
menyelidiki lebih jauh, supaya kamu tidak bertindak salah terhadap suatu kaum.[10]
Kedua: pada ayat ini
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa berita satu orang (khabar waahid) itu
dapat diterima, jika dia seorang yang adil. Sebab ayat ini, Allah hanya
memerintahkan untuk memeriksa dengan teliti terhadap pemberitaab orang yang
fasik.
Adapun
ornag yang sufah dipastikan kefasikannya, ucapannya tidak dapat diterima dalam
bidang pemberitaan. Hal ini berdasarkan ijma. Sebab pemberitaan adalah sebuah
amanah, sedangkan kefasikan adalah petunjuk yang dapat membuat amanah itu tidak
disampaikan.
Ketiga: Ibnu Al Arabi
berkata, “ adalah mengherankan jika Asy-Syafi’i dan orang-orang yang sependapat
dengannya, membolehkan kepemimpinan orang yang fasik. Sementara orang yang
tidak amanah terhadap sepeser uang, bagaimana mungkin dia dapat diberikan
kepercayaan untuk melunasi utang yang banyak?
Hal
ini sebgaiman dikatkan oleh Utsman, ‘ Shalat adalah hal terbaik yang dapat
dilakukan orang-orang. Apabila mereka ( para penguasa) berbuat baik,
maka berbuat baiklah. Tapi jika mereka berbuat buruk, mak hindarilah keburukan
orang-orang.
Keempat: adapun putusan
orang yang fasik, jika dia menjadi seorang wali, maka putusannya yang sesuai
dengan kebenaran harus dijalankan, sedang putusannya yang tidak sesuai dengan
kebenaran harus ditolak.
Kelima: pada ayat ini
terdapat dalil yang menunjukkan rusaknya pendpat orang-orang yang mengatakan
bahwa seluruh kaum muslim itu unggul,
sampai ditetapkan adanya cacat. Sebab ( dalam ayat ini ) Allah memerintahkan
untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, sementara pemerikasaan secara teliti
itu tidak akan berguna jika putusan sudah dilakukan.
Keenam:
jika hakim memutuskan sesuatu berdasarkan dugaan kuat, maka hal itu tidak
termasuk perbuatan tanpa mengetahui keadaannya, seperti putusan terhadap dua
orang saksi yang adil dan penerimaan terhadap pendapat orang yang alim dan
mujtahid.[11]
Pendapat Muffasirin:
Imam Hanafi mengambil dalil dari ayat
ini untuk menerima khabar seseorang yang tidak diketahui keadaannya. Ayat ini
juga bisa menjadi dalil bahwa di antara sahabat Nabi ada yang tidak adil,
karena Allah memberi sebuah fasiq kepada al-Walid.
Ar-Razi menolak riwayat ini, karena
beliau tidak dapat menerima pemakaian nama fasiq kepada al-Walid, sebab baginya
al-Walid tidak sengaja berdusta apalagi kata fasik sering dipakai dalam
al-Qur’an untuk orang yang tidak beriman.[12]
Hubungan dengan ilmu lain:
(a.) Ilmu Akhlaq, dalam ilmu akhlak kita sebagai muslim
hendaknya berperilaku baik dan sesuai koridor agama Islam, sedangkan apa yang
dilakukan oleh al-Walid merupakan berbuatan dusta yang hendaknya harus kita
hindari.
(b.) Ilmu Manajemen, dalam
setiap kegiatan bahkan penginformasian perlu adanya kejelasan didalamnya untuk
itu manajemen sebagai suatu cara untuk mengkoordinir kegiatan perlu diamalkan
dalam semua aktivitas.
VII.
HUKUM
A.
Hukum:
1.
Wajib amanah karena mendustai amanah adalah termasuk
golongan orang munafik.
2.
Haram berdusta karena dusta adalah perbuatan yang
dilarang agama dan termasuk dosa besar.
B.
Hikmah:
1.
Dalam kehidupan social masyarakat dalam penerimaan dan
pengamalan berita haruslah ada kejelasaan mengenai fakta berita tersebut.
2.
Pihak yang menyampaikan berita perlu dinilai kejujurannya
dan integritasnya dalam menyampaikan berita.
3.
Banyaknya orang yang menyampaikan informasi juga bukan
jaminan kebenaran informasi.
4.
Jangan mudah mempercayai berita-berita yang terlihat meragukan
dan belum jelas.
5.
Berita yang
terkadang dilebih-lebihkan perlu
diteliti dan dipastikan dengan menggunakan sumber yang sah.
6.
Tujuan dari
berita atau khabar bukan untuk mencari simpati, publisiti atau sengaja
digunakan untuk mencari kesalahan orang lain dengan di karenakan hasad dengki,
amarah, tidak puas hati dll.
7.
Manajemen perlu
dibiasakan dan ditanamkan dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam
komunikasi.
VIII.
KESIMPULAN
Pentingnya penekanan fungsi-fungsi manajemen sebagai suatu karakteristik
dalam mengatur kegiatan perlu dibiasakan. Dengan adanya kegiatan yang
berlandaskan manajemen maka sebuah kegiatan akan lebih terarah baik dalam
perencanaan sampai dengan pencapaian tujuan. Seperti pada kisah Harits di atas
jika manajemen digunakan terutama dalam controlling komunikasi atau
penginformasian khabar lebih teliti maka kesalah fahaman akan jauh dari kaum
mereka. untuk itulah manajemen penting adanya.
IX.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya susun, saya menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, Untuk kritik dan saran yang membangun saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah
yang saya buat dapat bermanfaat. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Al Qurthubi. Syaikh Imam,
2009. Tafsir Al Qurthubi. Jakarta :
Pustaka Azzam.
Al-Maraghi. Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
As-Suyuti. Jalaluddin. 2008. Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul. Jakarta: Gema Insani.
Choliq. Abdul .2011. Pengantar Manajemen. Semarang:Rafi Sarana Perkasa.
Departemen Agama (SK Menteri
Agama Munawir Sadzali). 1992. Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang:
Asy-Syifa, 1992)
Shiddiqi. Nourouzzaman dan Fuad Hazbi
ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra.
Shihab. M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah
(Pesan, Kesan dan Keserasian Ayat al-Qur’an). Jakarta: Lentera hati.
[1] Abdul Choliq, Pengantar
Manajemen, (Semarang:Rafi Sarana Perkasa, 2011), hal 2
[2] Departemen Agama (SK Menteri Agama Munawir Sadzali), Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang:
Asy-Syifa, 1992), hal 846
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal 2009
[4] Jalaluddin as-Suyuti, Lubabun
Nuquul fii Asbaabin Nuzul, ( Jakarta: Gema Insani, 2008) hal 524
[5] Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), hal 414
[10]Ibid, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 3917
[12] Op.Cit, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar