ETIKA
DAKWAH
[Q.S AL BAQARAH (1) : 44]
I.
MUQODIMAH
Istilah
etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak ,watak, perasaaan sikap,cara berpikir.
Dalam bentuk jamak (taeta) artinya adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang
menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”. Sacara
etimolgis berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Menurut K. Bertens etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.[1]
Sedangkan
menurut ulama terkemuka syekh Ali Mahfudz dakwah ialah upaya membangkitkan
kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyeru kepada perbuatan
ma’ruf dan mencegah yang mungkar supaya mereka mendapatkan kegbahagiaan dunia
dan akhirat.[2]
Etika dakwah ialah bagaimana membentuk perilaku yang baik dalam kegiatan
berdakwah, bukan hanya dalam bisnis saja etika diperlukan akan tetapi dalam
kegiatan dakwah pun etika sangatlah dibutuhkan bahkan etika wajib ada pada
kegiatan dakwah, untuk itu dibawah ini kami mencoba menguraikan point etika
dalam berdakwah, untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
II.
AYAT
DAN TERJEMAH
QS.
Al- Baqarah (1) : 44
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya:
“ Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik, dan kau
melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak
berpikir “ (
Qs Al Baqarah : 44 )
III.
MUFRODAT
الْبِرِّ à Al-Birr : Luasnya Kebaikan
Dikatakan
pula Al-Barr dan Al-Bariyyah artinya daratan luas
تَنسَوْن à Dan
kamu melupakan, (tidak melakukan apa yang telah kamu perintahkan)
أَفَلاَ تَعْقِلُونَ à Apakah kamu
tidak berpikir? (apa kamu tidak waras? karena kamu memerintahkan kebaikan tetapi
kamu sendiri tidak melakukan
kebaikan itu).[3]
IV.
ASBABUN
NUZUL
Ayat
ini di tujukkan kepada orang-orang yang mempunyai kitab, yakni para rahib dan
pendeta. Ada sebuah riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa: bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi Madinah (Para pendeta dan
rahiblah yang dianggap sebagai pemutus segala pekara, baik melarang ataupun
memerintah. Dan para rahib itu sama sekali tidak mengatakan segala sesuatu
kecuali sesuai dengan selera mereka. sementara merekapun tidak mengamalkan
hukum-hukum yang terkandung di dalam kitab, jika hukum tersebut bertentangan
dengan kemauan nafsu mereka). Mereka memerintahkan kepada orang-orang yang
mereka beri nasehat secara rahasia agar beriman kepada nabi Muhammad Saw,
tetapi mereka sendiri tidak beriman.[4]
Imam
As-sudi mengatakan “mereka memerintahkan orang-orang agar taat kepada Allah
SWT dan melarang berbuat maksiat. Sedangkan mereka sendiri melakukan apa yang
mereka larang”.
Turunnya
Surat Al-Baqarah ayat 44 ini berhubungan dengan kaum Yahudi Madinah yang pada
waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang
telah masuk agama Islam : “Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam)
dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar ia
menyuruh orang lain berbuat baik, tapi
dirinya sendiri tidak mengerjakannya.[5]
V.
KOLERASI
AYAT
QS. Al-Fushilat : 33-35
ô`tBur ß`|¡ômr&
Zwöqs% `£JÏiB !%tæy n<Î) «!$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ tA$s%ur ÓÍ_¯RÎ) z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÌÌÈ wur ÈqtGó¡n@ èpoY|¡ptø:$# wur èpy¥Íh¡¡9$# 4 ôìsù÷$# ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
#sÎ*sù Ï%©!$# y7uZ÷t/ ¼çmuZ÷t/ur ×ourºytã ¼çm¯Rr(x. ;Í<ur ÒOÏJym ÇÌÍÈ $tBur !$yg9¤)n=ã wÎ) tûïÏ%©!$# (#rçy9|¹ $tBur !$yg8¤)n=ã wÎ) rè >eáym 5OÏàtã ÇÌÎÈ
Artinya:
33.
“Dan tidak ada yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada (mengesakan dan mematuhi perintah) Allah, serta ia
sendiri mengerjakan amal yang soleh, sambil berkata: "Sesungguhnya aku
adalah dari orang-orang Islam (yang berserah bulat-bulat kepada Allah)!"
34. “Dan
tidaklah sama (kesannya dan hukumnya) perbuatan yang baik dan perbuatan yang
jahat. Tolaklah (kejahatan yang ditujukan kepadamu) dengan cara yang lebih
baik; apabila engkau berlaku demikian maka orang yang menaruh rasa permusuhan
terhadapmu, dengan serta merta akan menjadi seolah-olah seorang sahabat karib.”
35“Dan sifat
yang terpuji ini tidak dapat diterima dan diamalkan melainkan oleh orang-orang
yang bersikap sabar, dan tidak juga dapat diterima dan diamalkan melainkan oleh
orang yang mempunyai bahagian yang besar dari kebahagiaan dunia dan akhirat.“
Korelasi
ayat-ayat yang telah dituliskan terhadap etika berdakwah pada intinya didalam
ayat tersebut menerangkan tentang etika seorang dai ketika menyampaikan isi
dakwah tersebut. Karena seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya tidak asal
menyampaikan, namun harus menyesuaikan kondisi lingkungan disekitarnya dan
mengetahui kebutuhan dari mad’u itu sendiri.
Etika dalam
berdakwah itu ada dua yang meliputi perilaku dan perkataan. Di sini sangat
jelas sekali bahwasannya perilaku seorang dai dalam berdakwah dipertanggung
jawabkan, tidak asal menyampaikan isi dakwah saja namun harus sesuai dengan apa
yang diucapkan. Apapun yang di sampaikan oleh mad’u memberikan pengaruh yang begitu pesat terhadap perubahan
sehari-hari mad’u nya. Dan apabila etika-etika tersebut tidak digunakan maka
seorang yang berdakwah bisa dikatakan orang munafik.
VI.
TAFSIR AYAT
(a.)
أَنْفُسَكُمْ وَتَنْسَوْنَ بِالْبِرِّ
النَّاسَ مُرُونَ أَتَأْ, ayat ini ditujukkan
kepada orang-orang yang mempunyai kitab, yakni para rahib dan pendeta. Ada
sebuah riwayat yang dceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi Madinah. Mereka memerintahkan kepada
orang-orang yang mereka beri nasehat secara rahasia agar beriman kepada Nabi
Muhammad Saw. Tetapi mereka sendiri tidak pernah beriman.[6]
Para
rahib dan pendeta yang seharusnya menjadi mubalaghah
malah lupa akan tugas mereka, tugas mereka bukan hanya menyeru dengan
pengamalan kosong akan tetapi keseimbangan antara nasehat dan perbuatan. Jadi
seakan-akan ayat tersebut mengatakan “Jika kalian yakin terhadap janji Kitab
atas hal-hal yang baik, dan ancaman-ancamannya jika ditinggalkan, mengapa
kalian melupakan diri kalian?. Jelas sekali uslub seperti ini mengandung nilai
celaan yang sangat tajam karena seseorang yang tidak konsekuen dengan apa yang
dikatakan, maka hal tersebut akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
(b.) الْكِتَابَتَتْلُونَ
وَأَنْتُمْ, kalian lebih mengetahui kitab-kitab
yang kalian pegang dibanding orang-orang yang kalian perintah agar mengikuti
jejeak Nabi Muhammad Saw. Perbedaannya sangat besar antara orang-orang yang
berbuat tetapi tidak mengetahui faedahnya, dengan orang yang tidak mengerjakan
tetapi mengetahui keistimewaan-keistimewaah hal yang tidak dikerjakan tersebut.
(c.) تَعْقِلُونَ
أَفَلَا, Apakah kalian tidak mempunyai akal
lagi sehingga kalian tidak bisa dikendalikan di dalam melakukan perbuatan yang
mengundang bahaya? sebab orang yang mempunyai akal sekalipun tingkat
kecerdasannya tidak seberapa, ia tidak akan mengaku dirinya telah menguasai
atau mempunyai ilmu Kitab secara sempurna, kemudian ia menyeru kepada umat
manusia untuk mengikuti hidayah dan menjelaskan kepada mereka bahwa kebahagiaan
akan selalu bersamanya selama mengikuti petunjuk Al-Qur’an, tetapi ia tidak
mengamalkan dan tidak berpegang kepada apa yang ia perintahkan kepada orang
lain, di samping tidak meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai larangan.
Makna
yang terkandung dari ayat ini ialah, sekalipun pada asalnya ditujukkan kepada
kaum Yahudi, juga merupakan contoh bagi siapa pun. Hendaknya setiap umat
memperhatikan ibarat yang terdapat di dalam ayat ini. Kemudian, berhati-hatilah
di dalam bertindak, jangan sampai melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kaum
Yahudi, jika berbuat seperti kaum Yahudi, maka akan mendapat siksa yang sama.
Hal ini karena pembalasan Allah itu didasarkan pada keyakinan hati dan
perbuatan fisik. Jadi bukan karena jenis bangsa atau individu tertentu,
siapapun yang berbuat melanggar, tentu akan menerima balasan setimpal dari
Allah SWT.[7]
Ayat ini ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana
ayat-ayat sebelumnya. Di sini Allah SWT mengecam orang-orang yang bersifat
bengok dalam berbuat, dan selalu mengarah kepada kerusakan. Kemudian Allah SWT
memberi petunjuk kepada mereka agar beranjak dari kesesatan yang membingungkan
mereka. Sebab, kaum Yahudi mengaku dirinya sebagai kaum beriman kepada kitab mereka sendiri dan mengamalkan
serta memelihara melalui kitab-kitab tersebut. Tetapi mereka tidak lah serius
dalam mempelajarinya.
Para rahib dan pendeta menganggap diri mereka sebagai
pemutus segala perkara, para rahib selalu sesuai dengan selera mereka, mereka
tidak mengamalkan hukum-hukum yang terkandung dalam kitab, hukum-hukum dalam
kitab justru berbanding terbalik dengan kemauan nafsu mereka. Para pendeta
hanya berpegang pada prinsip keduniaan yang diikuti oleh para pengikutnya dan
semakin keluar dari garis agama.[8]
Beberapa
pelajaran dari ayat di atas (Al-Baqarah : 44) :
Pelajaran Pertama :
Ayat di atas merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, yaitu ditujukan
kepada Bani Israel, khususnya para pendeta Yahudi, karena mereka menyuruh
manusia untuk berbuat baik, sedangkan mereka sendiri menyelisihinya.
Firman
Allah : “ Apakah kamu menyuruh manusia “
“ Manusia ” dalam ayat di atas mencakup dua
pengertian.
Pengertian
pertama : Manusia di sini
adalah orang-orang di luar Yahudi
Orang-orang Yahudi di Madinah sebelum kedatangan nabi Muhammad saw
memberitahukan kepada para penduduk Madinah yaitu kabilah Auz dan Khozraj bahwa
akan datang seorang nabi di akhir zaman di kota ini, dan mereka menyuruh
penduduk Madinah untuk beriman kepadanya. Namun ketika nabi Muhammad
saw datang dan ternyata dari golongan Arab,maka seketika itu juga orang-orang
Yahudi tidak mau beriman. Ini sesuai dengan firman Allah swt :
وَلَمَّا
جَاءهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِندِ اللّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ وَكَانُواْ مِن
قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَاءهُم مَّا
عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّه عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan
setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada
pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”( Qs Al Baqarah : 89 )
Pengertian kedua : Manusia dalam ayat
itu maksudnya adalah orang-orang Yahudi sendiri.
Mereka menyuruh sanak kerabatnya yang sudah masuk Islam untuk tetap
berada dalam agama Islam, karena menurut mereka agama Islam yang dibawa nabi
Muhammad saw adalah benar, tetapi anehnya, mereka tetap tidak mau masuk Islam.
Mereka juga menyuruh para pengikutnya untuk mengikuti isi Taurat, sedang mereka
sendiri menyelesihinya.
Salah satu contohnya adalah seorang Yahudi yang anaknya sedang sakit
keras. Ketika nabi Muhammad saw menjenguk anak tersebut dan menyuruhnya masuk
Islam dan mengucapkan kalimat syahadat, tiba-tiba bapaknya yang Yahudi tersebut
mengatakan : ” Wahai anakku dengar dan taatilah Abu Qasim ( yaitu nabi Muhammad
saw ) “ . Dan benar saja anak tersebut mengucap kalimat syahadat sebelum ia
meninggal dunia, sedang dianya sendiri tetap berada dalam agama Yahudi.
Kemudian Rosulullah saw bergegas keluar seraya bersabda : “ Alhamdulillah (
segala puji bagi Allah ) yang telah menyelamatkannya dari api neraka dengan
perantaraku.”
Pelajaran Kedua :
Firman Allah di atas ditujukan juga kepada orang-orang Kristen, karena
mereka termasuk dalam kalimat ” Ahlu Al Kitab ” . Dan ternyata kita dapatkan
banyak dari para pendeta Kristen menyuruh para pengikutnya untuk berbuat baik,
akan tetapi mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Di bawah ini beberapa
bukti bagaimana para pendeta itu berbuat kejahatan di balik tembok-tembok
gereja yang mereka anggap tempat suci.
Sebagaimana kita ketahui para pendeta Kristen mengklaim bahwa mereka
adalah manusia-manusia suci yang tidak membutuh sex. Maka dalam ajaran Vatikan
terdapat apa yang dinamakan ” doktrin celibacy ” (larangan
menikah bagi pastor).Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang
paling haus dengan sex dengan melakukannya secara biadap dan sembunyi-sembunyi.
Pelajaran Ketiga :
Hukuman di akherat bagi orang yang memerintahkan orang berbuat baik,
sedang dia melupakan dirinya sendiri adalah seperti apa yang terungkap dalam
hadist : “
Didatangkan seorang lak-laki pada hari kiamat , kemudian dia dilemparkan ke api
neraka, terlihat usus perutnya berhamburan, dia berputar-putar dengan usus
perut tersebut, sebagaimana keledai yang mengelilingi tonggak pengikat dengan
tali ikatannya, kemudian para penghuni neraka mengelilingnya dan mereka berkata
: “ Wahai fulan, kenapa keadaan kamu seperti ini ? bukankah engkau dahulu di
dunia menyuruh orang berbuat kebaikan dan melarang kemungkaran ? Dia
berkata : Benar, dahulu aku menyuruh kebaikan akan tetapi saya tidak
mengerjakannya, dan saya melarang kemungkaran, tetapi saya justru malah
mengerjakannya.“
Hadist di atas menunjukkan bahwa orang yang mengetahui kebaikan dan
kemungkaran dan mengetahui juga kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar kemudian tidak mau melaksanakannya, hukumannya jauh lebih dasyat
daripada orang yang tidak mengetahuinya sama sekali. Ini dikuatkan dengan
hadist yang berbunyi : “ Orang yang paling pedih adzabnya pada hari kiamat
adalah orang yang mempunyai ilmu , tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat”.[9]
Abu Aswad Duwali pernah menuliskan suatu syair yang sangat terkenal :
لا تنه عن خلق وتأتي مثله عار
عليم إذا فعلت عظيم
ابدأ بنفسك ، فانهها عن
غيها فإن انتهت عنه ، فأنت
حكيم
فهناك يقبل إن وعظت ويقتدى بالقول منك
وينفع التعليم .
Janganlah kamu melarang sesuatu,sedangkan kamu melanggarnya sendiri…
Sungguh
sangat idak pantas , jika kamu mengerjakan seperti itu….
Maka
mulailah pada dirimu sendiri, laranglah dia dari berbuat jelek…
Jika
dirimu sudah demikian, maka berarti anda orangyang bijak ….
Disitulah
anda akan diterima perkataanmu jika engkau menasehati….
Anda akan
ditiru dan bermanfaat juga pelajaran yang engkau sampaikan….
Pelajaran
Keempat :
Apakah orang yang disiksa seperti itu, karena dia beramar ma’ruf dan
nahi mugkar ? Dia disiksa bukan karena beramar ma’ruf dan nahi mungkar, akan
tetapi dia disiksa karena dia meninggalkan perbuatan baik dan mengerjakan
kemungkaran.
Oleh karenanya, di dalam ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak
disyaratkan pelakunya harus bersih dari dosa. Berkata Sa’id bin Jubair :
Seandainya seseorang tidak akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar sampai dirinya
bersih dari dosa, niscaya tidak akan ada orang yang melakukan amar ma’ruf dan
nahi mungkar
Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak bermar
ma’ruf dan nahi mungkar, walaupun dia sendiri belum istiqamah, walaupun dia
sendiri masih banyak berlumuran dosa, walaupun dia sendiri belum bisa
melaksanakan kebaikan. karena dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar seseorang
akan terpacu untuk selalu berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran, dengan
demikian amar ma’ruf nahi mungkar merupakan sarana untuk menggembleng diri
sendiri dan menggembleng masyarakat secara bersamaan.
Kita harus mengetahui juga bahwa manusia di dalam menghadapi kebajikan
dan kemungkaran mempunyai empat kewajiban :
- Dua kewajiban terhadap kebajikan, yaitu : Mengerjakannya untuk
diri sendiri dan menyuruh orang lain untuk mengerjakannya.
- Dua kewajiban terhadap kemungkaran, yaitu : Meninggalkannya untuk
dirinya sendiri dan menyuruh orang untuk meninggalkannya.
Oleh karenanya, barang siapa yang belum bisa mengerjakan kewajiban untuk
dirinya sendiri, hendaknya tetap menyuruh orang lain untuk mengerjakannya,
dengan demikian dia telah mengerjakan salah satu kewajiban. Karena, jika dia
tidak mengerjakan kewajiban untuk dirinya sendiri dan tidak juga menyuruh orang
lain untuk berbuat kebajikan, berarti dia sudah meninggalkan dua kewajiban.
Begitu juga orang yang masih berbuat kemungkaran, hendaknya tetap
menyuruh orang lain untuk meninggalkannya, dengan demikian dia telah
mengerjakan satu kewajiban. Karena, jika ia yang masih mengerjakan kemungkaran
untuk dirinya sendiri dan tidak melarang orang lain juga untuk meninggalkannya,
berarti dia telah meninggalkan dua kewajiban.
Pendapat Ulama
Berkata Ibnu Katsir : “Pendapat yang benar adalah pendapat yang
menyatakan bahwa seorang ‘alim wajib beramar ma’ruf walaupun dia belum bisa
melaksanakannya, dan wajib bernahi mungkar walaupun dia masih mengerjakannya”
Berkata Syekh Utsaimin : “ Lakukan amar ma’ruf, dan berusahalah untuk
bisa mengamalkan kebaikan tersebut, sebaliknya lakukanlah nahi mungkar, dan
berusahalah untuk menjauhi kemungkaran tersebut . ”
Hubungan dengan
ilmu lain:
a.
Dalam
ilmu akhlaq kita diwajibkan untuk selalu amanah dalam bertindak dan berucap
begitu pula dalam Q.S Al baqarah : 44 dimana dalam ayat tersebut memberikan
kita pelajaran untuk amanah dalam setiap tindakan.
b.
Dalam
ilmu psikologi, psikis seseorang akan mudah terpengaruh akan tindakan kita
apabila kita memberi contoh terlebih dahulu, tidak hanya memerintah saja. Tanpa
ada tindakan riil.
c.
Begitu pula
dengan ilmu-ilmu yang lain, kita harus beretika dalam segala bentuk perilaku
dan perkataan apalagi dalam mensyiarkan agama.
VII.
HUKUM
A.
Hukum
1.
Haram,
meniru perbuatan para pendeta Yahudi تَنسَوْن Dan kamu melupakan,
(tidak melakukan apa yang telah kamuperintahkan)
2.
Wajib,
iman kepada kitab Allah sertta mengamalkannya.
B.
Hikmah
Kisah Bani Israil patut menjadi
pedoman umat umat Islam tentang bagaimana caranya menghadapi bani Israil
(mad’u), kebiasaan buruk mereka yang selalu berucap dusta, janji mereka pun
tidak dapat dipegang, mereka pandai memutar balikkan persoalan, membangkang
terhadap seruan baik dan satu satunya jalan untuk menghadapi mereka adalah
dengan persatuan dan kesatuan yang bulat dari umat Islam untuk membuat mereka
jera dan bersedia mengikuti akidah Islam yang benar bukan berlandaskan nafsu
belaka.[10]
VIII.
KESIMPULAN
Dalam
surat Al-Baqarah ayat 44 ini mengandung
kecaman kepada setiap pemuka agama yang melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan apa yang dianjurkannya. Ada dua hal yang disebut dalam ayat ini
seharusnya menghalangi pemuka-pemuka agama itu melupakan diri mereka. Pertama bahwa mereka meyuruh orang lain
berbuat baik. Seseorang yang memerintahkan sesuatu pasti dia mengingatnya. Yang kedua adalah mereka membaca kitab
suci. Bacaan tersebut seharusnya mengingatkan mereka. Tetapi ternyata keduanya
tidak menghiraukan sehingga sungguh wajar mereka dikecam.
Walaupun
ayat ini turun dalam konteks kecaman kepada para pemuka agama Bani Isra’il,
akan tetapi ayat ini juga ditujukan kepada setiap orang terutam para mubaligh
dan para pemuka agama. Dalam surat Al Baqarah ayat 44 ini juga menerangkan tentang etika dalam dakwah. Dakwah
adalah ucapan dan perbuatan. Dakwah akan gagal apabila dua komponen yaitu
antara ucapan dan ajakan mubaligh tidak sesuai dengan perilaku mubaligh
tersebut tidak. Dakwah bisa dilakukan oleh semua orang, dimanapun dan kapanpun
dia berada akan tetapi dakwah juga harus di pertanggungjawabkan, dakwah bukan
hanya mengajak mad’u untuk berbuat kebajikan kemudian selesai, akan tetapi
dakwah ialah bagaimana menyeru mad’u untuk berbuat kebajikan dan penerapan
kebajikan tersebut juga harus diterapkan dalam diri para da’i.
Daftar
Pustaka
Ø Ahmadzain,
Tafsir Al Qur'an dan Kehidupan
http://ahmadzain.wordpress.com/2007/07/25/tafsir-qs-al-baqarah-ayat-44/
tgl akses 11/11/2013
Ø Al-Maraghi. Ahmad Mustafa 1992l. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
Ø Bakry. Oemer.1993. Tafsir Rahma. Jakarta: PT Mutiara.
Ø Departemen Agama (SK Menteri Agama
Munawir Sadzali). 1992. Al Qur’an dan
Terjemah Edisi Lux. Semarang: Asy-Syifa.
Ø Enjang dan Aliyudin, 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Jakarta:widya
Pajajaran.
Ø K.
Bertens. 2007.Etika. Jakarta.Gramedia.
Ø Toha. Muhammad Shohib 2010. Al-qur’an Tafsir Perkata Tajwid Al-hidayah.
Jakarta:CV.Kalim,
[2] Enjang dan Aliyudin, Dasar-dasar
Ilmu Dakwah, (Jakarta:widya Pajajaran, 2009), hal6
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992l, hal 180
[4] Muhammad Shohib Toha, Al-qur’an
Tafsir Perkata Tajwid Al-hidayah,(Jakarta:CV.Kalim,
2010), hal 8
[5] Qamaruddin Shaleh dkk, Asbabun
Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), hal 24
[6] Ibid, Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, hal 183
[7] Ibid, Ahmad Mustafa Al-Maraghi, hal 184
[8] Ibid, Ahmad Mustafa Al-Maraghi, hal 182
[9] Ahmadzain, Tafsir Al Qur'an dan Kehidupan http://ahmadzain.wordpress.com/2007/07/25/tafsir-qs-al-baqarah-ayat-44/
tgl akses 11/11/2013
[10] Oemer Bakry, Tafsir Rahmat, (Jakarta: PT Mutiara,
1993), hal 17