Kamis, 04 Juli 2013

Al-Farabi

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI
                               I.            Biografi Al-Farabi
            Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibn Jurhan ibn Uzlaq al-Farabi. Beliau dilahirkan di Wasia sebuah dusun kecil di distrik Kota Farabi Propinsi Transoxiana, Turkistan, sekitar tahun 257 H. / 890 M.[1] Beliau wafat di Damaskus , Syiria pada tahun  339 H/ 950 M.[2] Ayahnya seorang tentara pemerintah Dinasti Samaniyah keturunan bangsa Persia. Namun keluarga al-Farabi dianggap orang turki. Hal ini karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdalia dan gaya hidup serta kultur budaya mereka mirip orang turki.[3]
            Dari Farab ia kemudian pindah ke Baghdad belajar  pada Abu Bishr Matta Ibn Yunus dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun[4] dan memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Ia juga belajar ilmu nahwu (tata bahasa arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[5]
            Sesudah itu ia pindah ke Harran (Yunani) untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Namun tidak lama kemudian kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Yahya bin Ady. [6] Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif Al-Daulah memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan falsafat.[7]
            Disamping  itu juga Al-Farabi menguasai bahasa Arab, Yunani, Turki, Persia dan banyak bahasa lainnya. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, yang terbanyak ialah mengenai filsafat Yunani. Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisik dan metafisika.[8]
Di antara karangan-karangannya adalah :
1.      Aghadlu Ma Ba’da At-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika)
2.      Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain(Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof ; Maksudnya Plato Dan Aristoteles)
3.      Tahsil As-Sa’adah ( Mencari Kebahagiaan)
4.      ‘Uyun Ul-Masail (Pokok-Pokok Persoalan)
5.      Ara-U Ahl-Il Madinah Al-Fadilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama)
6.      Ih-Sha’u Al-Ulum(Statistic Ilmu)
Dalam buku terakhir ini al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik,ilmu metematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’i), ilmu ketuhanan (al-ilm al-ilahi), ilmu kekotaan (politik, al-ilm al-madani), ilmu fikih, dan ilmu kalam.

                            II.            Pokok-pokok Pemikiran filsafat Islam
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme.[9] Namun pemikiran-pemikiran al-Farabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terutama Aristoteles, sehingga al-Farbi sering dijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles yang dijuluki “Guru Pertama”. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
            Selain pengaruh filsafat Yunani, corak pemikiran al-Farabi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi social politik yang mengitari kehidupannya.situasi social politik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ;
Pertama, Negara kekhalifahan – Negara sentralistik – telah menjadi sekedar nama, karena saat itu telah berdiri Negara-negara dan kekuasaan-kekuasaan independen, seperti al-Samaniyun, di Khurasan, Buwaihiyun di Persi dan Irak, Hamadiun di Halab dan Akhsyadunia, Fatimiyun di Mesir di samping daerah Maghribi dan Andalusia yang telah memisahkan diri sejak awal.
Kedua, imperium Arab Islam telah terpecah-pecah menjadi Negara-negara yang sering bersaing dan berselisih satu sama lain sebagai akibat dari banyaknya madzhab, kelompok dan golongan serta beragamnya pemikiran dan pendapat.
Ketiga, periode ini merupakan puncak perlawanan dinsati-dinasti Syi’ah, yakni Buwaihiyah dan Hamdaniyyah melawan khalifah yang hanya sekedar institusi semata.
            Dengan kata lain, al-Farabi hidup dalam situasi yang ditandai dengan adanya keretakan baik dalam wilayah pemikiran, politik maupun social, sehingga persoalan mendasar yang ia hadapi adalah bagaimana mengembalikan keutuhan pemikiran dan social tersebut. Sehingga semua karya al-Farabi terdapat seruan untuk memulihkan kembali persatuan pemikiran dan masyarakat.[10]
                Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. [11]
            Isu-isu penting dalam falsafatnya :
1.   Falsafat Emanasi / Pancaran
     Dengan falsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara Emanasi.[12]
     Menurut teori Emanasi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda. Ia mengatakan bahawa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui Dzat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi ilmu-Nya menjadi sebab bagi semua wujud yang diketahui-Nya. [13]
     Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri- Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga di sebut akal kedua. Wujud II atau akal pertama berfikir tentang dirinya dari situ timbullah langit pertama.
     Pada pikiran wujud XI / akal kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsure ; api, udara, tanah, dan air.[14]
2.   Falsafat Politik
Dalam bidang politik, al-Farabi mengangan-angankan sebuah kota utama
 ( Ara’ Ahl al –Madinah al- Fadilah), yaitu kota nalar, harmoni, persaudaraan dan keadilan, sebagai tempat menanamkan seluruh ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan nasional.
Pemikiran filsafat politik al-Farabi memiliki kaitan erat dengan upaya al-Farabi dalam memulihkan persatuan dan pemikiran dan masyarakat. Upaya memulihkan persatuan pemikiran ini dilakukan al-Farabi dengan cara mengadopsi “akal universal” yang berasal dari filsafat Yunani. Dalam hal ini, al-Farabi menegaskan bahwa perbedaan antara agama dan falsafat hanya dalam wilayah medium pengungkapannya. Agama mengambil metode dialektis dan retoris. Sementara filsafat mengambil metode demonstratif. Dengan cara demikian, al-Farabi merasa dapat mereduksi perlawanan dan konflik yang berlangsung antara filsafat dan agama dengan pertimbangan bahwa apa yang dikatakan agama adalah alegori dari apa yang dikatakan filsafat[15]
3.   Logika
Dalam bidang logika al-Farabi merupakan filosof muslim pertama yang memperkenalkan logika ke dalam kebudayaan arab. Logika disusun berdasarkan penalaran-penalaran rasional sebagai hasil  dari aktivitas akal. Menurut al-Farabi ada lima aktivitas akal; yakni membuat ungkapan-ungkapan argumentative (burhaniyah), pernyataan dialektis (alaqawil al-jadaliyah), pernyataan shopis(al-aqawil al-sufsutaiyah), pernyataan retorik (al-aqwal al- syi’riyah). Dan seluruh ungkapan itu dibangun dari qiyasat dibentuk dari premis atau ungkapan dan premis dibentuk dari satu kategori atau beberapa kategori.[16]
4.   Klasifikasi Ilmu
Dalam risalah “perincian ilmu-ilmu” al-Farabi melakukan survey terhadap seluruh bidang ilmu yang dikenal pada masanya. Bidang-bidang ini diklasifikasikan kepada delapan rubric, yaitu ; linguistic, logika, matematika, fisika, metematika, politik, yuridis dan teologis.
Al-Farabi kemudian mengklasifikasikan ilmu pengetahuan sebagai berikut;
Pertama, ilmu bahasa (syntaksis, gramatika, pengucapan dan aturan puisi)
Kedua, logika ( pembagian, definisi, dan komposisi gagasan sederhana)
Ketiga, sains persiapan mencakup Aritmatika (praktis dan teoritis), geometri (praktis dan teoritis), optika, sains tentang langit ( atrologi. Gerak dan sosok benda-benda langit), music (paktis maupun teoritis), dll.
Keempat, fisika (sains kealaman) dan metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip benda-benda ilmu kemasyarakatan)[17]
5.   Akal
Pernyataan al-Farabi bahwa tujuan utama dirumuskannya logika adalah bagaimana bisa berpegang kepada Burhan. Dengan berkata demikian, al-Farabi hendak melampui wacana teologis yang bersifat dialektis-shopis dan wacana irfan, yaitu wacana ketersingkiran akal yang keduanya menurutnya menjadi biang keladi terjadinya kekacauan pemikiran dalam masyarakat. Sehingga ia beralih kepada wacana “akal universal”.[18]






                         III.            Kesimpulan
·         Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibn Jurhan ibn Uzlaq al-Farabi. Beliau dilahirkan di Wasia sebuah dusun kecil di distrik Kota Farabi Propinsi Transoxiana, Turkistan, sekitar tahun 257 H. / 890 M.[19] Beliau wafat di Damaskus , Syiria pada tahun  339 H/ 950 M.
·         Di antara karangan-karangannya adalah :
Aghadlu Ma Ba’da At-Thabi’ah,, Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain, Tahsil As-Sa’adah, ‘Uyun Ul-Masail,, Ara-U Ahl-Il Madinah Al-Fadilah,, Ih-Sha’u Al-Ulum(Statistic Ilmu).
·         Isu-isu penting dalam falsafatnya :
Falsafat Emanasi / Pancaran, falsafat politik, logika, klasifikassi ilmu akal.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang), 1992
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta) 1997
Supena, Ilyas, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers), 2010




[1] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85
[2] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.26
[3]Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85
[4] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.26
[5] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), Hal.30
[6] Ibid, Hal.31
[7] Opcit, Harun Nasution, Hal. 26
[8] Opcit, Sudarsono Hal. 31
[9] Ibid, Hal.32
[10] Opcit, Ilyas Supena, Hal. 86-87
[12] Opcit, Harun Nasution, Hal 27
[13] Opcit Ilyas Supena, Hal.95
[14] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.28
[15] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 87-88
[16] Ibid,Hal. 89
[17] Ibid, Hal.90-92
[18] Ibid, Hal.92
[19] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85

Keluarga sakinah

Kiat Membentuk Keluarga Sakinah Dan Pemahaman Fiqh Islam Mencegah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga )

       I.            PENDAHULUAN
            Keluarga sakinah adalah tujuan bagi semua orang dalam proses membina kehidupan rumah tangganya. Keluarga ini adalah cerminan kehidupan keluarga ideal, yang diinginkan terjadi dalam sebuah rumah tangga. Oleh karena itu sebuah keluarga sakinah tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa dipersiapkan serius dan matang.
            Keluarga sakinah diartikan sebagai keluarga yang dianugerahi kebahagiaan baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan keluarga seperti itu, kehidupan rumah tangga berjalan dengan tentram dan damai. Masing-masing anggota keluarga, bisa hidup dalam kasih sayang dan ketenangan tanpa diliputi prasangka pada masing-masing anggota keluarga tersebut.[1]
            Dalam keluarga sakinahpun tidak serta merta tidak akan ada konflik dalam keluarga, perbedaan pendapat dalam keluarga lumrah adanya. Hanya saja jika ada masalah dalam rumah tangga tersebut, proses penyelesaian lebih mengedepankan pada pencarian solusi dan bukanlah pada proses saling menyalahkan bahkan sampai pemukulan salah satu pihak.
            Berkaitan dengan hal tersebut, pemakalah akan memaparkan mengenai hakekat keluarga sakinah dan kiat-kiat membentuk keluarga sakinah sekaligus pemahaman fiqh islam mencegah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga )

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana hakekat keluarga sakinah?
B.     Bagaimana kiat-kiat  membentuk keluarga sakinah ?
C.     Bagaimana pemahaman fiqh islam mencegah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga )?
  
 III.            PEMBAHASAN
A.  Hakekat Keluarga Sakinah
            Islam mengangkat tinggi-tinggi derajat suami yang saleh dan istri yang salehah. Suami yang saleh adalah suami yang berpegang teguh kepada syariat agama dalam segenap urusan kehidupan. Ia tunaikan kewajiban - kewajibannya, baik kewajiban yang berhubungan dengan Tuhannya, keluarga, maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan ketulusan hati dan penuh rasa tanggung jawab.
            Selain itu, dalam urusan rumah tangga, ia tidak serakah, tidak menuntut haknya lebih banyak dari yang semestinya. Bahkan lebih dari itu, ia pun lapang dada bila hak yang ia dapatkan ternyata berkurang dari yang seharusnya. Ia pantang menyia-nyiakan kewajiban, bahkan ia tunaikan kewajiban itu terlebh dahulu sebelum menuntut haknya.
            Sedangkan istri yang salehah, adalah istri yang taat kepada Tuhannya, mempergauli suaminya dengan baik, tidak menyia-nyiakan kewajiban, serta tidak menuntut haknya banyak dari semestinya. Suami yang saleh tentu ingin membahagiakan istrinya, begitu juga yang salehah, ia ingin membahagiakan suaminya.
            Dalam rangka mewujudkan kebahagiaan suami-istri tersebut, Rasulullah Saw. Mengimbau mereka berdua supaya berperilaku dengan akhlaqul karimah untuk mewujudkan keharmonisan rumah tangga.[2]
            Namun dalam realitanya kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun atas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah. Maka Nampak dipandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk  harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah. Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang dibenak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Dilain sisi juga ada yang beranggapan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua.
            Padahal sesungguhya hakekat keluarga yang sakinah adalah suatu keluarga yang dilandasi mawaddah dan warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana orang yang menjalani kehidupan rumah tangga tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasul-Nya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.[3]
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
            “Dan diantara tanda-tanda kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Ar-Ruum : 21)”[4]
            Dapat disimpulkan, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi (penerapan) nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridho Allah SWT. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah SWT, sebagaimana firman Allah:[5]
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#ÿrߊ#yŠ÷zÏ9 $YZ»yJƒÎ) yì¨B öNÍkÈ]»yJƒÎ) 3
“ Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” ( QS. Alfath : 4)

B.    Kiat-kiat membentuk keluarga sakinah
            Secara singkat dapat dikemukakan beberapa upaya yang perlu ditempuh guna mewujudkan cita-cita kearah tercapainya keluarga yang sakinah. Berikut ini adalah kiat-kiat membentuk keluarga sakinah antara lain :
1.      Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan pemakainya.
¨£`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3  ÇÊÑÐÈ  
 mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al Baqarah :187)
Al-qur'an menjelaskan dalam hal ini bahwa betapa hebat seseorang pasti  memiliki kekurangan, begitu juga betapa lemahnya seseorang pasti memiliki kelebihan, begitu juga dengan suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami istri harus saling melengkapi kekurangan masing– masing.
2.      Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai kebaikan didunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajiabannya sebagai suami karena mengharap ridha Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala disisi Allah SWT. Sedangkan istri, menunaikan kewajiban sebagai istri seperti melayani suami, mendidik anak-anak dan sebagainya.
Seorang istri juga tidak akan membebani suaminya dengan hal-hal yang tidak sanggup ia kerjakan dan tidak menuntut sesuatu yang lebih dari kebutuhan. Sikap ini dapat menjadi bantuan untuk suami dalam urusan finansial.. Dahulu kala, para wanita kaum salaf memberi wejangan kepada suami atau ayahnya, “Berhatilah-hatilah engkau dari memperoleh harta yang tidak halal. Kami akan sanggup menahan rasa lapar namun kami tak akan pernah sanggup merasakan siksa api neraka.”[6]
3.      Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf). Allah berfirman :
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 ÇÊÒÈ  
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS annisa’:19)
Yang mana hal ini telah diajarkan dan dipraktekan oleh Rasulullah SAW. bersama istri-istrinya, sampai-sampai Nabi SAW. membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga. Padahal sehari-harinya nabi memiliki kesibukan dalam menunaikan kewajiban menyampaikan risalah Allah  dan kesibukan mengatur kaum muslimin.
Aisyah mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sibuk membantu istrinya dan jika tiba waktu salat maka ia pun pergi menunaikannya.”[7]
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apa yang diperbuat Rasulullah SAW. jika ia bersamamu di rumah?”, Aisyah menjawab, “Ia melakukan seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”
Ibnu Hajar menerangkan faidah hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini menganjurkan untuk bersikap rendah hati dan meninggalkan kesombongan dan hendaklah seorang suami membantu istrinya.”
4.      Suami istri saling memaafkan kesalahan yang timbul dari pasangannya.
Ini bisa kita simak dari kisah Rasulullah SAW. dengan salah satu istri beliau.
Dari Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Nabi di tempat salah seorang istrinya maka istrinya yang lain mengirim sepiring makanan. Maka istrinya yang sedang bersamanya ini memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah sehingga makanan berhamburan. Lalu Nabi SAW. mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, beliau berkata, “Ibu kalian cemburu…”
Perhatikanlah, Nabi sama sekali tidak marah akibat perbuatan istrinya yang menyebabkan pecahnya piring. Nabi tidak mengatakan, “Lihatlah! makanan berhamburan!!, ayo kumpul makanan yang berhamburan ini!. ini adalah perbuatan mubadzir!” Akan tetapi ia mendiamkan hal tersebut dan membereskan bahkan dengan rendah hati nabi langsung mengumpulkan pecahan piring dan mengumpulkan makanan yang berhamburan, padahal di sampingnya ada seorang pembantu.
Tidak cukup sampai di situ saja, nabi juga memberi alasan untuk membela sikap istrinya tersebut agar tidak dicela. Nabi mengatakan, “Ibu kalian sedang cemburu.”
Nabi menghadapi permasalahan rumah tangganya dengan tenang dan bijak, bagaimanapun beratnya permasalahan tersebut. Beliau juga mampu menenangkan istri-istrinya jika timbul kecemburuan diantara mereka. Sebagian suami tidak mampu mengatasi permasalahan istrinya dengan tenang, padahal istrinya tidak sebanyak istri Rasulullah dan kesibukannya pun tidak sesibuk Rasulullah. Bahkan di antara kita ada yang memiliki istri cuma satu orang pun tak mampu mengatasi permasalahan antara dia dan istrinya.
Sebagian sahabat beliau mengatakan, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih pengasih kepada keluarganya melebihi Rasulullah SAW.” (HR. Muslim).[8]
C.  Pemahaman fiqh islam mencegah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga )
Dalam berumah tangga, kadang-kadang muncul pelbagai masalah yang tidak bisa dihindari apabila anggota keluarga tersebut tidak mau saling memahami dan bertenggang rasa. Kerapkali persoalan muncul secara tiba-tiba, bahkan mengancam rumah tangga sehingga harus dicarikan penyelesaiannya, dan mengembalikannya kepada kondisi yang tenang dan penuh kecintaan.
 Wanita dan laki-laki sama-sama memiliki kemungkinan melakukan penyelewengan (nusyuz), meskipun sifatnya tidak sama. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya berbeda. Sesuai dengan kadar penyelesaiannya yang mereka lakukan.
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(an-Nisa[4]:34)[9]
Para ahli tafsir mendefinisikan nusyuz sebagai usaha menampakkan kekerasan dalam ucapan, perbuatan, atau kedua-duanya sekaligus, yang dilakukan oleh salah seorang di antara suami istri karena kebencian terhadap pasangan hidupnya. Nusyuz yang dilakukan istri daapat berupa penolakan untuk memberikan hak suami atas dirinya, atau keluar rumah tanpa izin suaminya. Adapun nusyuz yang dilakukan suami bisa berupa perlakuan buruk terhadap istri, dan ketidakmauannya memberikan nafkah kepada istrinya, yang merupakan kewajiban baginya.
Menurut mazhab Hanafi, nusyuznya seorang istri terjadi jika ia keluar rumah tanpa ada alasan yang benar dan tanpa izin suaminya, tidak mengabaikan kesucian, tidak merias diri, enggan memuaskan suaminya secara seksual padahal tidak alasan yang dapat diterima, menyakiti anak-anak suaminya, mendoakan yang jelek kepada suaminya, merobek-robek pakaian suaminya, mengangkat suaranya ketika berselisih pendapat dengan suaminya agar didengarkan orang lain, atau mencela suaminya.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz itu hanyalah sebatas pada keengganan istri melakukan hubungan suami-istri, keluarnya dia dari rumah tanpa izin suaminya ke tempat yang tidak harus didatangi, dan tindakannya meninggalkan salah satu perintah Allah Swt. Seperti meninggalkan salat tanpa ada alasan yang dibenarkan.
  
Adapun madzab Syafi’i berpendapat bahwa batasan nusyuz ialah keluarnya seorang istri dari garis ketaatan terhadap suaminya. Seperti pergi ke suatu tempat tanpa kerelaan suaminya, dan keengganannya memuaskan nafsu seksual suami tanpa alasan yang benar atau perlakuannya yang keras kepada suaminya.[10]
Sedangkan menurut mazhab Hanbali berpendapat bahwa nusyuz dibatasi dengan kecurangan yang dilakukan oleh istri, dan penolakannya memberikan salah satu hak suami atas dirinya, misalnya keluar rumah tanpa izin suaminya atau penolakkannya untuk memuaskan nafsu seksual suami, begitu pula kemaksiatan terhadap hak Allah.
Itu pandangan dari para fukaha mengenai nusyuznya perempuan, sedangkan nusyuz bagi laki-laki yaitu dibatasi pada kerangka perlakuan kasar terhadap istrinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, termasuk seluruh tindakan yang dapat menyakiti istrinya, baik tindakan itu berupa akhlak yang buruk maupun kekikiran terhadap istrinya untuk hal-hal keperluan pokoknya, begitu juga memutuskan tali silahturahim, khususnya terhadap kedua orang tuanya.
Menurut mazhab Syafi’i, kategori nusyuz laki-laki adalah keengganannya memberikan salah satu hak istrinya. Misalnya memberikan nafkah atau bagian yang seharusnya menjadi miliknya. Juga bisa perlakuan buruk terhadapnya.
Mazhab Hanbali mengatakan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan perlakuan baik terhadap istri, misalnya istri diperlakukan dengan buruk dan menyakitinya, menahan-nahan memberikan haknya, suami menampakkan wajah yang tidak menyenangkan sehingga menyakiti hati istrinya.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz suami itu tersimpul dalam permusuhannya terhadap istrinya, misalnya dengan memukulnya atau menyakitinya, baik tindakan menyakiti hati itu melampaui batas hak suami atau tidak memenuhi hak istrinya.
Adapun mazhab Hanafi berpendapat bahwa keengganan seorang suami memberikan hak istri, termasuk suatu kedzaliman. Nusyuz, pada hakikatnya, tersimpul dalam pelanggaran terhadap haknya dan juga hak istrinya.[11]
Dengan pemahaman agama, suami istri dapat memahami tanggungjawab masing-masing.[12] Sehingga kebahagiaan rumah tangga dalam islam terkait dengan pelaksanaan social kewajiban suami-istri, dari segi memberikan kasih sayang dan pendidikan dalam rumah tangga.[13]
Sehingga dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami maupun istri haruslah terlaksana pemenuhan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Selama hak dan kewajiban itu seimbang, tidak akan ada nusyuz. Namun jika tidak ada keseimbangan antara keduanya, dan terjadi pelanggaran batas kewajiban, terjadilah nusyuz. Pada gilirannya, terjadilah kedzaliman dan pelanggaran terhadap syariat Allah Swt. 
Namun apabila terlanjur terjadi penyelewengan ataupun penganiayaan yang dapat mengakibatkan salah satu terluka atau dapat mengakibatkan cacat fisik, haruslah ada putusan hokum yang jelas mengenai kejahatan yang telah dilakukan. Misalnya dalam kasus yang pernah diputuskan oleh Ali dalam penganiayaan suami terhadap istri yang berakibat cacat fisik.
Kasus :
“ Suami istri bertengkar, dan karena jengkelnya, suami menganiaya istrinya dengan menusukkan sebatang kayu kedalam kemaluan istrinya, sehingga mengalami cidera berat. Dalam mengadili perkara ini, Ali menjatuhkan putusan menghukum suami membayar diyat kemaluan istrinya, dan memaksanya untuk tetap menjadikannya sebagai istri, sampai akhir hayatnya. Dan jika perempuan itu diceraikannya, maka lelaki itu diwajibkan memberikan nafkah seumur hidupnya ”[14]

 IV.            KESIMPULAN
            Keluarga sakinah merupakan suatu keluarga yang dilandasi mawaddah dan warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana orang yang menjalani kehidupan rumah tangga senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasul-Nya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
            Kiat-kiat membentuk keluarga sakinah antara lain :
1.    Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan pemakainya.
2.    Suami istri secara tulus menjalankan kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah.
3.    Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf).
4.    Suami istri saling memaafkan kesalahan yang timbul dari pasangannya.
            Dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami maupun istri haruslah terlaksana pemenuhan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Selama hak dan kewajiban itu seimbang, tidak akan ada nusyuz. Namun jika tidak ada keseimbangan antara keduanya, dan terjadi pelanggaran batas kewajiban, terjadilah nusyuz. Pada gilirannya, terjadilah kedzaliman dan pelanggaran terhadap syariat Allah Swt.

    V.            PENUTUP
            Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan. Saran dan kritik yang membangun selalu saya harapkan,  demi kesempurnaan makalah ini dan makalah berikutnya. Semoga ada manfaatnya.Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Fathi Abdullah, Adil, Ketika suami istri hidup bermasalah bagaimana mengatasinya?, 2005, Jakarta : Gema Insani.
Ø  Ali Engineer, Asghar, Pembebasan perempuan, 2003,Yogyakarta : Lkis.
Ø  Al-Ilmu Jember, BuletinTips Membina Rumah Tangga yang Sakînah http://www.anneahira.com/keluarga-sakinah.htm Tgl Akses : 7-06-2013
Ø  Musa, Kamil , Suami istri islami, 2000, Bandung : Remaja Rosdakarya .
Ø  Abdul Halim Hamid, Muhammad ,Bagaimana membahagiakan suami : bingkisan untuk sepasang penganti Muslim, 2007, Surakarta : Era Intermedia .
Ø  Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu ,Hokum Acara Peradilan Islam ,2006, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ø  Saleh,Kamarul Azmi Jasmi & Siti Fauziyani Md,  Pendidikan dan pembangunan keluarga cemerlang , 2007, Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia, 2007



                [1] http://www.anneahira.com/keluarga-sakinah.htm Tgl Akses : 7-06-2013
                [2] Muhammad Abdul Halim Hamid, Bagaimana membahagiakan suami : bingkisan untuk sepasang penganti Muslim, ( Surakarta : Era Intermedia, 2007), hal.11-12
                [3]Assayyid Abdul Halim Maulakhela, Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah http://Www.Himmahfm.Com/7-Fatwa/485-Kiat-Kiat-Membangun-Keluarga-Sakinah Tgl Akses 07-06- 2013
                [4] Adil Fathi Abdullah, Ketika suami istri hidup bermasalah bagaimana mengatasinya?, ( Jakarta : Gema Insani, 2005) hal.145
                [5] Buletin Al Ilmu JemberTips Membina Rumah Tangga yang Sakînah

[7] Imam Al-Bukhari mencantumkan perkataan Aisyah ini dalam dua bab di dalam sahihnya, yaitu Bab Muamalah Seorang (suami) dengan Istrinya dan Bab Seorang Suami Membantu Istrinya.

[9] Asghar Ali Engineer, Pembebasan perempuan, (Yogyakarta : LKis, 2003). hal 79
[10] Kamil Musa, Suami istri islami, (Bandung : Remaja Rosdakarya,2000) hal.91-94
[11] Ibid, hal.95-99
[12]Kamarul Azmi Jasmi & Siti Fauziyani Md Saleh,  Pendidikan dan pembangunan keluarga cemerlang , (Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia, 2007), Hal.52
[13] Ibid hal. 79
[14] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hokum Acara Peradilan Islam ,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006) Hal.95