Kamis, 04 Juli 2013

Al-Farabi

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI
                               I.            Biografi Al-Farabi
            Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibn Jurhan ibn Uzlaq al-Farabi. Beliau dilahirkan di Wasia sebuah dusun kecil di distrik Kota Farabi Propinsi Transoxiana, Turkistan, sekitar tahun 257 H. / 890 M.[1] Beliau wafat di Damaskus , Syiria pada tahun  339 H/ 950 M.[2] Ayahnya seorang tentara pemerintah Dinasti Samaniyah keturunan bangsa Persia. Namun keluarga al-Farabi dianggap orang turki. Hal ini karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdalia dan gaya hidup serta kultur budaya mereka mirip orang turki.[3]
            Dari Farab ia kemudian pindah ke Baghdad belajar  pada Abu Bishr Matta Ibn Yunus dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun[4] dan memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Ia juga belajar ilmu nahwu (tata bahasa arab) pada Abu Bakar As-Saraj sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[5]
            Sesudah itu ia pindah ke Harran (Yunani) untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. Namun tidak lama kemudian kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Yahya bin Ady. [6] Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif Al-Daulah memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan falsafat.[7]
            Disamping  itu juga Al-Farabi menguasai bahasa Arab, Yunani, Turki, Persia dan banyak bahasa lainnya. Karangan beliau tidak kurang dari 128 buah kitab, yang terbanyak ialah mengenai filsafat Yunani. Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisik dan metafisika.[8]
Di antara karangan-karangannya adalah :
1.      Aghadlu Ma Ba’da At-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika)
2.      Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain(Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof ; Maksudnya Plato Dan Aristoteles)
3.      Tahsil As-Sa’adah ( Mencari Kebahagiaan)
4.      ‘Uyun Ul-Masail (Pokok-Pokok Persoalan)
5.      Ara-U Ahl-Il Madinah Al-Fadilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama)
6.      Ih-Sha’u Al-Ulum(Statistic Ilmu)
Dalam buku terakhir ini al-Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa (ilm al-lisan), ilmu mantik,ilmu metematika (at-taalim), ilmu fisika (al-ilm at-tabi’i), ilmu ketuhanan (al-ilm al-ilahi), ilmu kekotaan (politik, al-ilm al-madani), ilmu fikih, dan ilmu kalam.

                            II.            Pokok-pokok Pemikiran filsafat Islam
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme.[9] Namun pemikiran-pemikiran al-Farabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terutama Aristoteles, sehingga al-Farbi sering dijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles yang dijuluki “Guru Pertama”. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
            Selain pengaruh filsafat Yunani, corak pemikiran al-Farabi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi social politik yang mengitari kehidupannya.situasi social politik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ;
Pertama, Negara kekhalifahan – Negara sentralistik – telah menjadi sekedar nama, karena saat itu telah berdiri Negara-negara dan kekuasaan-kekuasaan independen, seperti al-Samaniyun, di Khurasan, Buwaihiyun di Persi dan Irak, Hamadiun di Halab dan Akhsyadunia, Fatimiyun di Mesir di samping daerah Maghribi dan Andalusia yang telah memisahkan diri sejak awal.
Kedua, imperium Arab Islam telah terpecah-pecah menjadi Negara-negara yang sering bersaing dan berselisih satu sama lain sebagai akibat dari banyaknya madzhab, kelompok dan golongan serta beragamnya pemikiran dan pendapat.
Ketiga, periode ini merupakan puncak perlawanan dinsati-dinasti Syi’ah, yakni Buwaihiyah dan Hamdaniyyah melawan khalifah yang hanya sekedar institusi semata.
            Dengan kata lain, al-Farabi hidup dalam situasi yang ditandai dengan adanya keretakan baik dalam wilayah pemikiran, politik maupun social, sehingga persoalan mendasar yang ia hadapi adalah bagaimana mengembalikan keutuhan pemikiran dan social tersebut. Sehingga semua karya al-Farabi terdapat seruan untuk memulihkan kembali persatuan pemikiran dan masyarakat.[10]
                Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. [11]
            Isu-isu penting dalam falsafatnya :
1.   Falsafat Emanasi / Pancaran
     Dengan falsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara Emanasi.[12]
     Menurut teori Emanasi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda. Ia mengatakan bahawa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui Dzat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi ilmu-Nya menjadi sebab bagi semua wujud yang diketahui-Nya. [13]
     Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri- Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga di sebut akal kedua. Wujud II atau akal pertama berfikir tentang dirinya dari situ timbullah langit pertama.
     Pada pikiran wujud XI / akal kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsure ; api, udara, tanah, dan air.[14]
2.   Falsafat Politik
Dalam bidang politik, al-Farabi mengangan-angankan sebuah kota utama
 ( Ara’ Ahl al –Madinah al- Fadilah), yaitu kota nalar, harmoni, persaudaraan dan keadilan, sebagai tempat menanamkan seluruh ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan nasional.
Pemikiran filsafat politik al-Farabi memiliki kaitan erat dengan upaya al-Farabi dalam memulihkan persatuan dan pemikiran dan masyarakat. Upaya memulihkan persatuan pemikiran ini dilakukan al-Farabi dengan cara mengadopsi “akal universal” yang berasal dari filsafat Yunani. Dalam hal ini, al-Farabi menegaskan bahwa perbedaan antara agama dan falsafat hanya dalam wilayah medium pengungkapannya. Agama mengambil metode dialektis dan retoris. Sementara filsafat mengambil metode demonstratif. Dengan cara demikian, al-Farabi merasa dapat mereduksi perlawanan dan konflik yang berlangsung antara filsafat dan agama dengan pertimbangan bahwa apa yang dikatakan agama adalah alegori dari apa yang dikatakan filsafat[15]
3.   Logika
Dalam bidang logika al-Farabi merupakan filosof muslim pertama yang memperkenalkan logika ke dalam kebudayaan arab. Logika disusun berdasarkan penalaran-penalaran rasional sebagai hasil  dari aktivitas akal. Menurut al-Farabi ada lima aktivitas akal; yakni membuat ungkapan-ungkapan argumentative (burhaniyah), pernyataan dialektis (alaqawil al-jadaliyah), pernyataan shopis(al-aqawil al-sufsutaiyah), pernyataan retorik (al-aqwal al- syi’riyah). Dan seluruh ungkapan itu dibangun dari qiyasat dibentuk dari premis atau ungkapan dan premis dibentuk dari satu kategori atau beberapa kategori.[16]
4.   Klasifikasi Ilmu
Dalam risalah “perincian ilmu-ilmu” al-Farabi melakukan survey terhadap seluruh bidang ilmu yang dikenal pada masanya. Bidang-bidang ini diklasifikasikan kepada delapan rubric, yaitu ; linguistic, logika, matematika, fisika, metematika, politik, yuridis dan teologis.
Al-Farabi kemudian mengklasifikasikan ilmu pengetahuan sebagai berikut;
Pertama, ilmu bahasa (syntaksis, gramatika, pengucapan dan aturan puisi)
Kedua, logika ( pembagian, definisi, dan komposisi gagasan sederhana)
Ketiga, sains persiapan mencakup Aritmatika (praktis dan teoritis), geometri (praktis dan teoritis), optika, sains tentang langit ( atrologi. Gerak dan sosok benda-benda langit), music (paktis maupun teoritis), dll.
Keempat, fisika (sains kealaman) dan metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip benda-benda ilmu kemasyarakatan)[17]
5.   Akal
Pernyataan al-Farabi bahwa tujuan utama dirumuskannya logika adalah bagaimana bisa berpegang kepada Burhan. Dengan berkata demikian, al-Farabi hendak melampui wacana teologis yang bersifat dialektis-shopis dan wacana irfan, yaitu wacana ketersingkiran akal yang keduanya menurutnya menjadi biang keladi terjadinya kekacauan pemikiran dalam masyarakat. Sehingga ia beralih kepada wacana “akal universal”.[18]






                         III.            Kesimpulan
·         Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibn Jurhan ibn Uzlaq al-Farabi. Beliau dilahirkan di Wasia sebuah dusun kecil di distrik Kota Farabi Propinsi Transoxiana, Turkistan, sekitar tahun 257 H. / 890 M.[19] Beliau wafat di Damaskus , Syiria pada tahun  339 H/ 950 M.
·         Di antara karangan-karangannya adalah :
Aghadlu Ma Ba’da At-Thabi’ah,, Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-Hakimain, Tahsil As-Sa’adah, ‘Uyun Ul-Masail,, Ara-U Ahl-Il Madinah Al-Fadilah,, Ih-Sha’u Al-Ulum(Statistic Ilmu).
·         Isu-isu penting dalam falsafatnya :
Falsafat Emanasi / Pancaran, falsafat politik, logika, klasifikassi ilmu akal.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang), 1992
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta) 1997
Supena, Ilyas, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers), 2010




[1] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85
[2] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.26
[3]Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85
[4] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.26
[5] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), Hal.30
[6] Ibid, Hal.31
[7] Opcit, Harun Nasution, Hal. 26
[8] Opcit, Sudarsono Hal. 31
[9] Ibid, Hal.32
[10] Opcit, Ilyas Supena, Hal. 86-87
[12] Opcit, Harun Nasution, Hal 27
[13] Opcit Ilyas Supena, Hal.95
[14] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta : Pt Bulan Bintang,1992), Hal.28
[15] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 87-88
[16] Ibid,Hal. 89
[17] Ibid, Hal.90-92
[18] Ibid, Hal.92
[19] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (Semarang : Walisongo Pers, 2010), Hal. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar